26. Jarak Jangkau

18.7K 3.6K 821
                                    

Don't try to live so wise
Don't cry cause you're so right
Don't dry with fakes or fears 'cause you will hate yourself in the end

Pada hari yang sama, dari awal masuk hingga kembali pulang dari York, ia tidak melihat Samudera. Tidak di salah satu sofa. Samudera biasa meminum iced americano sambil mengajak obrol salah satu pelanggan. Tidak di atas stool menghadap bar. Samudera biasa bertukar guyon dengan yang lain. Tidak juga di koridor mengecek ruang kelas, atau di kantor yang kadang menjadi ruang rapat. Dia tidak berada di manapun dan tanpa kabar.

Begitupun esoknya. Ketika Rindang masuk bekerja, padahal sebelumnya membuat alasan sakit yang dibuat-buat, Samudera tidak menampakkan diri sama sekali. Pria itu seperti menghilang dari jarak pandanganya.

"What are you looking for?" Miss Fany mengerutkan alis. Suaranya sedikit bass dan penuh penekanan, membuat Rindang terkesiap.

Gadis itu menarik kembali lehernya yang dijulurkan mencari-cari di pintu kafe, kemudian tersenyum canggung.

"Eh, nothing, sorry, Miss. What was it again?"

Miss Fany menutup lembar modul di tangannya dan bersedekap. Ia mengembuskan napas keras dari hidung. "Did you listen to me at all?"

Tidak, Rindang tidak mendengarkan. Samudera menghilang, dan mendadak ia tidak bisa menyerap hal lain ke dalam otaknya. That was ... all that matters.

"Forget it!" potong Miss Fany bahkan sebelum Rindang berhasil menyanggah. Ia mendekap modul tebal untuk anak-anak dan dibawa kembali di dada. "I'll just ask Oliv for now."

Lalu, sebelum beranjak pergi, wanita itu berputar kembali di atas tumitnya.

"You know, I've been in your shoes before. Bingung. Galau. Hampir membatalkan pernikahan sama Mas Yuda. Masalah itu datang seperti hujan; ada yang lembut ada yang keras, semuanya hanya mau menguji payungmu." Salah satu lengannya terulur sekarang untuk menepuk pundak Rindang. "Just follow your heart. If it meant to be you yours, it's yours."

Miss Fany kemudian beranjak pergi, meninggalkan dentam ujung hak sepatu di atas permukaan ubin, meninggalkan Rindang yang membuka mulut keheranan. Gadis itu ingin mempertanyakan apa maksud semua nasihat tersebut.

Kemudian, tiba-tiba saja, satu gelas oreo milkshake mendarat di hadapan Rindang. Ujung gelasnya berembun. Sepasang oreo stroberi yang menjadi toping terlalu sayang untuk diabaikan lama-lama. Di lain waktu, Rindang pasti akan menariknya tanpa banyak pikir. Namun semua yang ia lakukan adalah menatap Juan. Si pelaku yang menyodorkan gelas itu tanpa peringatan apa-apa.

"Buat kamu," kata cowok itu akhirnya, coba meyakinkan.

"Saya nggak pesan."

"Memang. Itu buat kamu."

Terdengar bunyi gesekan pelan ketika Juan menarik kursi bar, sehingga ia bisa duduk lebih dekat di sisi Rindang. Posisinya menghadap gadis itu, menyampingi meja bar.

"Sedari tadi, ada kerut di kening kamu," Juan memulai. Dan Rindang tidak mengerti arah pembicaraan ini. "Jadi, bisa kita mulai saling tanya? Atau sekadar ... bicara."

Rindang menatap cowok itu cukup lama. Rambutnya yang agak panjang, sepertinya belum pernah dipotong sejak mereka pertama kali bertemu dua bulan lalu. Dulunya di bawah telinga, sekarang berada di perpotongan leher. Terbelah di bagian tengah, condong sebelah kiri. Matanya masih setajam dan segelap yang Rindang bisa ingat. Tapi, sekarang, ada sentuhan akrab di sana. Ada kelembutan yang seperti mau mendobrak keluar, hingga menghilangkan sisa-sisa Juan si Pangeran Es yang semua orang kenal.

RINDANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang