23. All The Wrong Things

20.2K 3.3K 456
                                    

Airmatamu itu 'kan kuubah menjadi senyuman
Dengan sihir bahagia itulah... Party join us
Party party join us join us (3x)
Goyang pinggung goyang pinggul

 Party join usParty party join us join us (3x)Goyang pinggung goyang pinggul

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hampir. Bagian sialannya, hampir.

Samudera hampir dapat mengatakannya secara gamblang, kode-kode yang selama ini hanya bisa ia berikan seperti teka-teki.

Kamu ... marah, nggak, waktu itu? Samudera ingat wajahnya seketika panas ketika menanyakan itu. Suatu keajaiban suaranya tidak bergetar, atau kakinya tidak tumbang.

Gadis itu mengerjap, menatapnya, dan kalimat pamungkas itu sudah berada di ujung lidah. Telapak tangannya mulai basah dan Samudera tahu, inilah waktunya. Sekarang atau tidak sama sekali.

Samudera mengambil setengah langkah maju dan merapat. Ia bersiap membisikkannya ketika kecelakaan terjadi di belakangnya, hingga ia terdorong ke depan. Hidungnya keras membentuk kepala Rindang. Ini tidak romantis sama sekali. Detik berikutnya, gadis itu sudah kembali menatapnya murka.

"Saya ingat, kok! Bapak nggak perkhlu rkheka adegan!"

Lalu, pintu kesempatan tertutup. Momen itu sirna begitu saja.

Sekali lagi, Samudera meringis dan mengacak kepala yang gatal. Hal itu menarik simpati Dana yang sedari tadi menikmati kopi di sampingnya.

"Kenapa Bos? Ketombe?" tanyanya tanpa dosa. Sebagai balasan, Samudera menatap yang kalau diterjemahkan, berbunyi: "Diam atau mulut lo gue garuk."

Maka, Dana membuat gestur menutup resleting pada bibirnya. Ia kembali fokus menghabiskan kopi dalam satu mug kecil. Tidak cukup.

Dana kembali memesan, "Wan, oreo milkshake, dong, satu."

Juan tidak menoleh dari kotak oreo yang sedang ia rapikan saat menjawab, "Abis."

"Lah, tuh ada?"

"Ini buat Lilin."

Kalimat itu seketika membuat Samudera mengangkat kepala. Ia langsung menatap Juan tanpa mengatakan apapun. Awalnya. Sampai Bang Dana tidak sanggup menahan rem di mulutnya.

"Cieee, lagi deket sama Lilin, ya? Dah, jadian aja, nih, jangan-jangan!"

Terdengar bunyi kursi yang terdorong ke belakang dengan keras. Samudera tiba-tiba berdiri. Tidak hanya menarik perhatian mereka berdua, tapi pengujung kafe lainnya. Tatapan Samudera berhenti pada Juan. "We need to talk."

***

Di depan spion motor, Rindang menyempatkan diri mengatur rambutnya yang berhamburan ke sana kemari setelah helm dilepas. Ia memasang kembali jepit rambut yang hampir melorot ke ujung rambut. Beberapa menit lagi kelas seharusnya dimulai.

Namun, begitu pintu terbuka dan ia langsung menghadap jam dinding besar di belakang bar, napas lega segera terhembus. Masih ada lima belas menit untuk bersantai.

"Abis kondangan, Lin? Cantik banget." Bang Dana tidak bisa melewatkan momen ini untuk menegur.

Rindang menghampirinya di meja bar. Bukan untuk mengobrol, tentu saja.

Justru, ia kembali mengedarkan pandang. "Juan mana?" Ia masih lapar, dan ia ingin sosis goreng. Jus apel saja tidak cukup.

"Di belakang sama Bos," Bang Dana mengedikkan bahu. Lalu sebelum Rindang dapat bertanya lebih lanjut, lelaki itu turun dari stool dan menepuk bahunya.

"Duluan, ya. Dah kenyang, mau nyetor tunai dulu."

Belum jauh ia berjalan, Rindang segera dijelaskan apa itu setor tunai versi Dana, lewat kentut sumbang dan semerbak yang membuat Rindang menutup hidung cepat-cepat.

"Woy! Abis makan bangke?!" Emil yang malang yang duduk di bangku dekat Bang Dana mengumpat.

Rindang berusaha untuk tidak tertawa. Ia memindahkan fokusnya pada pencarian Juan. Berhubung waktunya tidak banyak, ia berjalan memasuki dapur. Lurus pada pintu halaman belakang yang sedikit terbuka.

Di sana, ia menemukan pemandangan dari alam mimpinya. Hanya saja, entah yang indah, atau yang buruk, ia tidak bisa menentukan.

Di sana, Samudera dan Juan refleks menoleh ke arahnya. setelah mendengar gesek engsel pintu diayun terbuka.

Selama beberapa saat, ketiganya terpaku dalam diam. Rindang sibuk mencerna situasi saat ini. Juan bersandar pada batang pohon tanjung di halaman belakang, sementara Samudera berada di depannya tengah mencengkeram kerah baju Juan. Posisi mereka terlalu dekat. Rindang yakin, ia baru membaca komik dengan adegan mirip itu tadi malam.

Tanpa diminta, otak gadis itu merekonstruksi kejadian.

Mereka berhadapan. Samudera dan Juan. Tatapan mereka saling memuja jatuh cinta. Samudera mencengkeram kerah Juan dan mendorong Juan ke pohon. Sementara, Juan melingkarkan lengan di pinggang Samudera. Mereka saling memejamkan mata ... dan mendekat.

"Rin?"

Suara Samudera memecah lamunannya. Rindang segera menutup mata, kemudian menangkupkan tangannya sambil membungkuk. "Ampun, Pak! Saya nggak sengaja! Nggak maksud ganggu. Sumpah!"

Saat Rindang membuka mata bermaksud mengintip, Juan telah mendorong Samudera menjauh. Juan mengibas-ngibaskan jinsnya, lalu menyingkir ke tepi.

"Maaf, saya ada urusan lain," ujarnya. Dengan langkah lebar, ia melewati Rindang. Ia sempat berbalik untuk menatap keduanya. "Good luck."

Sementara, Samudera menatapnya horror. "Saya bisa jelasin!"

RINDANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang