14. Apple Scene

22.7K 3.6K 547
                                    

Kau mau apa lihatlah ada Cloud Bread di awan
Ketika Cloud Bread turun campur resep cinta ibu
Cloud Bread Cloud Bread
Kita kan punya Cloud Bread
Cloud Bread Cloud Bread
Ku senang punya Cloud Bread

Kau mau apa lihatlah ada Cloud Bread di awanKetika Cloud Bread turun campur resep cinta ibuCloud Bread Cloud BreadKita kan punya Cloud BreadCloud Bread Cloud BreadKu senang punya Cloud Bread

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Surat kedua.

Kita bertemu di satu pagi. Dan bukannya aku langsung jatuh cinta seperti kata kebanyakan orang, hanya belum. Hanya sebatas suka, awalnya.

Kemudian, aku melihatmu. Bukan hanya di pagi-pagi itu saat matahari sedang menyapa dan kamu seperti kembarannya. Atau siang. Atau sore. Aku melihatmu setiap malamnya. Di kepalaku, tepatnya.

Aku melihatmu berjalan, lalu seperti ada angin yang berhembus. Aku melihatmu tersenyum, kemudian seperti ada ribuan kupu-kupu di sekitar. Aku melihatmu tertawasiapa yang sedang menabur bunga? Aku melihatmu, dari kejauhan, dan rasanya cukup.

Saat itu aku sadar, aku telah jatuh cinta.

Bolehkah, aku melakukannya? Menyelipkan nama kamu dalam hati dan di sela doa-doa?

Meskipun, kamu tidak tahu.

Meskipun, kamu mungkin tidak akan pernah tahu.

***

"Iya, Umai (Ibu). Lilin paham."

Namun, lava di seberang sana belum teredam. Masih banyak ceramah yang masuk daftar antrean, dan menunggu dimuntahkan.

"Kamu ini! Iya iya aja, pulangnya nggak. Memangnya kapan lagi kamu mau bawa calon mantu, Lin? Teman sekolah kamu aja anaknya sudah dua! Pokoknya, kalau umur dua puluh enam kamu belum ada pasangan juga, nikah sama Bue Dulah (Kakek Dulah)!"

"Umai?!"

Bukan suara ibunya, namun bunyi tut tut panjang terdengar. Dan untuk pertama kali sejak telepon itu terpaksa diangkat, Rindang lega. Meskipun jauh di seberang pulau sana pasti wanita itu masih mengomel. Setidaknya lima menit dari sekarang, sampai ia menyadari pulsanya habis.

Rindang menutup ponselnya, lalu menyimpannya di laci sepeda motor. Di belakangnya, sebagian besar lampu York sudah mati. Kafe sudah tutup semenjak setengah jam yang lalu berhubung seluruh pengunjung telah pulang. Hanya sekelebat orang tersisa di dalam. Juan sedang membereskan bar, sedangkan Emil duduk di depannya, dan Anan main game di pojok ruangan.

Malam sudah agak larut dan kantuk mulai menyerang. Sedikit terburu-buru, Rindang mengancingkan jas hujan kuningnya. Ia memasang helm bogonya tanpa merapikan rambut. Toh, nanti dibawa pulang dan rebahan akan kusut lagi. Ia men-starter motor. Dengan pelan, ia membelokkannya melewati halaman, melintasi bata dan semen yang melandai ke arah aspal jalanan. Rindang berkendara dengan kecepatan kura-kura.

Dibandingkan kelelahan fisik karena mengajar empat kelas sampai tenggorokan menderita, Rindang lebih tersiksa dengan denyutan di kepala. Di hati juga, sepertinya. Ia tidak peduli, dan berusaha selamanya begitu, tapi ia sadar masih punya tanggung jawab. Ia tidak ingin membuat keluarganya malu, setidaknya.

RINDANG [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang