1 | Berkubang Emosi

287 36 7
                                    

Ini keajaiban.

Kala bergegas masuk ke dalam rumah dan menutup pintu cepat-cepat, nyaris tak berani memercayai nasib baiknya. Gadis itu terpaksa keluar rumah, meninggalkan ayahnya yang masih tergeletak di lantai ruang tengah karena mabuk berat. Tapi, dia sudah melihat lelaki itu duduk di salah kursi ruang makan dengan segelas air di tangannya. Tak ada pertanyaan ataupun gurat emosi yang menandakan pada Kala bahwa ia harus segera kabur ke kamar.

Tadinya, Kala menyangka harus menerima teriakan bertubi atau sejumlah pukulan karena terpergok keluar rumah tanpa izin. Prasetyo, ayahnya memang tak pernah mengizinkan Kala keluar dari rumah apapun alasannya. Itulah sebabnya mengapa Kala lebih memilih untuk menyibukkan diri membuat beberapa aksesoris yang bisa dijualnya secara online demi menjaga kestabilan emosinya sendiri.

Kala berusaha mengatur napasnya. Gadis itu terengah-engah karena terpaksa berlari di sepanjang jalan. Saat itu yang ada di kepala Kala, hanyalah bagaimana cara bisa mengantarkan paket ke agen ekspedisi secepat mungkin sebelum ayahnya terbangun. Biasanya, Kala tidak perlu susah payah mengantarkan sendiri paketnya. Namun, entah kenapa pagi ini dia tidak bisa menghubungi agen ekspedisi langganannya untuk dilakukan pick up di rumah. Sementara pelanggannya sudah mulai mencak-mencak ingin agar barangnya segera dikirimkan. Kala yang tidak ingin kehilangan kepercayaan pelanggan, berupaya sebaik mungkin meski membahayakan dirinya sendiri.

"Dari mana kamu?" suara berat Prasetyo membuat Kala sedikit terlonjak.

"Uhm, Kala harus ke agen ekspedisi karena—"

"Kamu bodohnya memang kelewatan atau sengaja nggak peduli sama omongan Ayah?!" Prasetyo membanting gelas yang berada dalam genggamannya hingga pecah berserakan di lantai.

Napas Kala tercekat. Ternyata itu bukan keajaiban, hanya penyiksaan yang tertunda. Mungkin, semesta hanya ingin ia merasakan bahagia sebentar saja sebelum akhirnya menderita sebagaimana biasanya.

"Sini kamu!"

Perlahan, Kala melangkahkan kakinya ke arah Prasetyo meski sekujur tubuhnya gemetar. Dia seolah sedang mempersiapkan tubuhnya untuk menerima konsekuensi terburuk. Seluruh ototnya mengejang dan keringat dingin mulai merembes membasahi punggung, tangan, dan keningnya.

Jarak Kala dan Prasetyo belum cukup dekat, tapi lelaki itu sudah bisa meraih rambut Kala dan menjambaknya kuat-kuat hingga kepala Kala miring jauh ke belakang.

"Ayah sudah cukup sabar membiarkanmu ngelakuin apapun yang kamu suka di dalam rumah ini, tapi kenapa kamu masih suka keluyuran nggak jelas? Padahal udah berulang kali Ayah ingatkan, jangan pernah sekalipun keluar dari batas pintu itu, kecuali rumah ini habis kebakar!" Prasetyo menarik rambut Kala semakin kuat hingga Kala merasa satu persatu rambutnya tertarik lepas dari kulit kepalanya.

"Ma-maaf, Ayah."

"Kamu kira cuma dengan kata maaf, Ayah bisa gitu aja maafin kamu, hah?! Mau sampai kapan kamu nggak peduli dengan kata-kata Ayah? Nunggu Ayah kehabisan kesabaran dan kamu terpaksa harus Ayah tendang lagi di depan panti asuhan kayak yang dilakuin ibumu? Iya?!"

Jantung Kala berdentam kuat mendengar kalimat yang baru saja terburai dari bibir Prasetyo. Tidak. Dia tidak ingin kembali ke panti asuhan itu apapun alasannya. Dia tidak ingin lagi dilabeli sebagai anak yatim piatu seperti dulu. Lebih baik dia bersama ayahnya meski tak pernah mendapat perlakuan layaknya seorang anak.

"Tolong, Yah jangan bawa aku kembali ke tempat itu. Pukuli aja Kala, nggak apa-apa asal Ayah nggak balikin Kala ke sana."

Belum sempat Kala menghindar atau mempersiapkan diri, Prasetyo sudah melayangkan satu pukulan keras ke pipinya. Dalam waktu yang cukup singkat, rasa sakit karena hantaman itu mulai menjalar menyebarkan nyeri dan panas bersamaan. Kala terjengkang karena Prasetyo sudah terlebih dulu melepaskan rambut Kala. Gadis itu ambruk ke lantai dengan sisi wajah berdenyut-denyut.

Prasetyo beranjak dari duduknya, lelaki itu bahkan masih sempat menendang kaki Kala sebelum akhirnya pergi menjauh, menghilang di balik pintu.

"Ayah, jangan pergi!" isak Kala yang kemudian berlari mengejar Prasetyo hingga ambang pintu tapi tak cukup berani untuk menyentuh kenopnya.

Tak lama kemudian, Kala mendengar raungan mesin sepeda motor yang perlahan makin menjauh. Keheningan mulai menyelimuti dirinya. Kala duduk di lantai, menyandarkan punggungnya di dinding, dan melipat lututnya serta menenggelamkan wajahnya di sana. Dadanya sesak dan ada dorongan tak kasat mata dalam tubuhnya yang memaksanya untuk kembali berdiri. Kala menuruti keinginan itu dan berjalan ke arah pecahan gelas yang masih tergeletak di lantai, di dekat meja makan. Kala berlutut dengan satu tangan terulur meraih salah satu pecahan kaca.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang