8 | Mimpi Buruk

82 13 1
                                    

Tak ada satu malam pun yang dilewatkan Kala tanpa mimpi buruk. Mimpi itu selalu diawali dengan keberadaannya di dalam ruangan kecil remang-remang. Kala secara nyata merasakan takut, tapi tidak tahu takut terhadap apa dan siapa. Ketakutan itu membuatnya menangis dan memeluk diri sendiri dengan kedua tangan. Kala benar-benar ingin sekali berteriak minta tolong tapi tidak bisa. Dia sama sekali tak sanggup menggerakkan mulutnya untuk bersuara. Dia juga tidak bisa berdiri dan berlari menuju pintu yang hanya beberapa langkah di depannya. Ada sesuatu yang membuatnya terpaku di tempat dan tak bisa ke mana-mana.

Lalu, terdengar sebuah suara memanggil namanya di balik pintu, dan Kala kenal betul siapa pemilik suara itu.

Pintu terbuka, cahaya matahari berwarna jingga menyorot ke dalam. Langkah kaki terdengar mendekat, lalu seseorang menarik lengan Kala hingga dia berdiri dan berjalan tertatih-tatih mengikuti.

Kala mengangkat wajah untuk menatap pemilik suara itu. Dia baru mau mengucapkan terima kasih saat tiba-tiba wajah itu tersenyum menyeramkan.

"Selamat tinggal, Sekala Senja."

Sekonyong-konyong Kala didorong ke luar pintu. Gadis itu mendapati dirinya jatuh ke lubang besar yang gelap. Cahaya matahari menjauh dengan cepat saat tubuhnya tertarik gravitasi. Kala merasa jiwanya seolah dicabut paksa. Kengerian memenuhi rongga dada dan perutnya, memberi sensasi tidak mengenakkan yang pernah dia rasakan saat naik roller coaster dengan kecepatan penuh. Kala menangis dan menjerit sebelum tubuhnya menimpa dasar lubang.

Kemudian, dia akan tersentak bangun, nyaris melompat dari tempat tidur dengan keringat dingin dan air mata yang membanjir seperti saat ini.

Kala melihat Drew sudah ada di sisi tempat tidur. Sepertinya, berusaha membangunkan Kala sejak tadi.

"Kala, kamu nggak apa-apa kan?" Lelaki itu merengkuh Kala dalam pelukannya begitu gadis itu terduduk.

Rambut Kala lepek dan basah oleh keringat. Wajahnya sudah dipenuhi air mata yang merebak ke mana-mana. Tangisan gadis itu semakin kencang saat merasakan pelukan hangat Drew. Lelaki itu menepuk punggung Kala dengan lembut.

Selama beberapa saat, ruangan asing itu menjadi begitu hening. Hanya terdengar detak jam dinding sehingga rasa-rasanya gadis itu hanya bisa mendengar detak jantungnya sendiri.

Untuk beberapa detik, Kala mencoba mencerna apa yang sedang ia hadapi sekarang. Otaknya bekerja keras memutar kejadian demi kejadian sebelum akhirnya dia terbangun di ruangan ini. Ruangan yang sebelumnya tak pernah ia pijak. Ruangan itu serbaputih tapi Kala yakin itu bukan rumah sakit. Tak ada bau alkohol, tak ada petugas berpakaian putih, tak ada kelambu, tak ada selang infus, dan hal-hal lain yang menyesakkan dada.

"Aku di mana, Drew?" tanya Kala dengan suara parau. Tenggorokannya terlalu kering hingga membuatnya hampir tersedak.

Drew dengan sigap mengambil segelas air di atas nakas, membantu Kala memegangnya hingga airnya habis tak tersisa.

Tubuh Kala terasa lebih baik dalam sekejap. Aliran air dingin itu mampu menyegarkan rongga mulut hingga perutnya yang terasa kering kerontang seperti padang tandus.

"Ini apartemenku, Kala," kata Drew seraya meletakkan kembali gelas kosong ke atas nakas.

"Sejak kapan kamu punya apartemen? Eh, kenapa aku bisa ada di sini?" Sedikit demi sedikit ingatan Kala mulai pulih. Matanya melebar ketika menyadari terakhir kali sebelum kehilangan kesadaran adalah saat dia lari dari kejaran Prasetyo dan dua orang preman suruhan Danang.

Drew meletakkan kedua tangannya di bahu Kala dengan lembut. "Tenangin dulu diri kamu. Kita bahas ini pelan-pelan ya."

Potongan kejadian saat Kala sedang berusaha menghindar dari Prasetyo kembali memburunya. Dadanya sontak bergemuruh, tapi di sisi lain Kala penasaran dengan apa yang terjadi. Tanpa sadar, Kala menyentuh kepalanya. Tapi, dia malah berjengit karena memegang bagian yang terluka di pelipisnya.

"Kamu pingsan tepat saat aku menemukan kamu lagi dikejar orang-orang brengsek itu. Dan..."

"Dan apa, Drew? Ayahku baik-baik saja kan?" Kala mendadak panik.

"Kala denger ya, orang itu nggak pantas kamu sebut ayah!"

Seluruh tubuh Kala gemetar hebat. Dadanya sesak seperti ada sesuatu yang mengimpitnya. Ingin sekali dia marah pada Drew tapi tak ada yang bisa disangkalnya karena kalimat yang dia lontarkan tadi benar adanya.

"Mereka sudah diringkus oleh polisi—"

"A-Ayah dipenjara?" potong Kala menatap Drew tajam.

"Nggak. Ayah kamu berhasil kabur. Itulah kenapa sebabnya aku bawa kamu ke sini. Aku khawatir kalau ayahmu itu bakal balik ke rumah dan nyiksa kamu lagi!" jelas Drew.

Beban di dada Kala seolah terangkat dan lenyap begitu saja. Entah kenapa dia bisa merasa lega mendengar ayahnya mungkin baik-baik saja di luar sana. Kepalanya menunduk lesu, sementara air mata masih terus membanjiri wajahnya.

"Aku sudah kemasi barang-barangmu. Kalau masih ada barang yang kamu perlukan, nanti kita beli saja. Oke?" Drew meremas kedua tangan Kala yang terasa dingin.

Kalimat itu justru membuat Kala mengingat sesuatu. "Barang apa saja yang kamu bawa?"

"Baju dan beberapa perlengkapan pribadimu yang bisa ditemukan ibuku di lemari. Kenapa?"

"Aku harus kembali ke rumah!" Kala melompat dari tempat tidur.

Dengan sigap, Drew menangkap tubuh mungil gadis itu. "Tunggu! Buat apa kamu balik lagi ke rumah itu?"

"Foto ibuku. Foto ibuku masih ada di rumah itu, Drew! Lepasin aku!" Kala meronta dalam pelukan Drew yang semakin kuat.

"Kala, dengerin aku dulu!" pinta Drew dengan intonasi lebih tinggi.

Gadis itu akhirnya menyerah. Deru napasnya masih tak beraturan tapi dia jelas memilih untuk mendengar Drew.

"Aku bakal antar kamu kembali ke rumah untuk mencari foto ibumu—"

"Dan bantu aku cari ibuku!" sela Kala menatap Drew lekat. "Aku nggak mau lagi dinikahkan sama preman, aku nggak mau lagi jadi anak terlantar dan sebatang kara! Aku yakin ibuku masih hidup dan dia bakal sayang banget sama aku kayak ibumu sayang sama kamu, Drew!"

Drew menarik napasnya dalam-dalam berupaya menjernihkan pikirannya sendiri agar tidak salah berucap ataupun menyetujui apapun permintaan Kala yang kadang di luar nalar.

"Oke, tapi ada syaratnya," ujar Drew.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang