7 | Pelarian Senja

83 13 0
                                    

Kala seketika bungkam ketika melihat sosok laki-laki yang berdiri di ambang pintu kamarnya. Leher hingga lengannya penuh tertutup tato yang bahkan tak bisa diketahui Kala apa bentuknya. Kulitnya kecokelatan seperti dipanggang bertahun-tahun di bawah sinar matahari. Rambutnya ikal berantakan dengan sisa-sisa cat yang sepertinya tidak dirawat.

"Siapa kamu?" tanya Kala dengan suara lirih tercekat.

"Danang. Calon suamimu," jawab lelaki itu tegas dengan senyum tersungging di wajahnya yang jauh dari kata tampan menurut Kala.

Kedua mata Kala memicing. Alarm tanda bahaya dalam tubuhnya sudah menyala.

"Ayahmu itu memang idiot! Punya anak gadis secantik ini kok malah dijadikan taruhan." Danang berjongkok di dekat tempat tidur demi menatap Kala lebih dekat.

Kala berusaha menahan diri agar tidak muntah karena aroma napas Danang yang ternyata jauh lebih busuk dari ayahnya. Aroma asap rokok bercampur alkohol dan bau mulut yang menyesakkan.

Danang melirik laci nakas yang terbuka di sisi kirinya. Ia melihat sebuah gunting menyembul dari tumpukan kertas resi pengiriman barang Kala. Lelaki itu kemudian menggunting semua perekat yang membelenggu tangan dan juga kaki Kala.

"Maafkan aku yang terlambat datang sampai ayahmu yang bodoh itu harus memperlakukanmu seperti ini," ujar Danang membelai pipi Kala dengan telunjuknya yang berkuku runcing seperti nenek sihir.

Kala bergidik. Mengapa lelaki sok garang seperti Danang bisa memiliki kuku yang lebih sering dimiliki oleh kaum hawa?

"Kalau begitu, cepat bawa aku keluar dari rumah ini," pinta Kala sambil menegakkan tubuhnya di atas tempat tidur. Mereka saling berhadapan, tapi Danang tidak tahu kalau Kala sedang berusaha mati-matian menahan napasnya.

Danang tersenyum licik. "Rupanya kamu juga sudah nggak sabar?"

"Tentu saja."

Lelaki itu mengulurkan tangannya ke hadapan Kala, berharap gadis itu menyambutnya. Batin Kala meronta, ia tidak ingin sama sekali menyentuh lelaki itu. Tapi, ia tidak punya pilihan lain.

Ekspresi penuh bangga dan bahagia terpancar dari wajah Danang ketika akhirnya Kala bersedia menggenggam tangannya yang kasar dan kapalan.

Kala bangkit dari duduknya setelah Danang menarik lembut tangannya. Mereka berjalan keluar kamar menuju ruang tengah. Mata Prasetyo terbelalak ketika melihat Kala tengah bergandengan tangan dengan Danang seolah dalam pengaruh hipnotis.

Satu langkah sebelum mereka benar-benar berada di ruang tengah, Kala justru meremas jemari Danang dan memuntirnya hingga lelaki itu berteriak kesakitan. Tak lupa, Kala menendang selangkangan pria itu sebelum akhirnya lari ke arah pintu utama. Haryo, Riski, dan Prasetyo benar-benar tak menduga kejadian itu. Mereka terlalu syok sampai tidak punya waktu untuk menghalangi Kala berlari keluar rumah.

"Goblok! Kejar dia!" perintah Danang yang bergelung kesakitan di lantai.

Haryo dan Riski, diikuti oleh Prasetyo yang terengah-engah di belakangnya mengejar Kala yang tidak menoleh sedikitpun. Dengan mudahnya gadis itu menerobos pintu yang sepertinya dibiarkan terbuka.

Kala terus berlari bertelanjang kaki menapaki tanah basah dan juga kubangan air sisa hujan. Meski sakit karena menginjak bebatuan, Kala tak peduli. Dia terus berlari.

"Kala, berhenti!" pinta Prasetyo yang terus berupaya mengejarnya diikuti dua orang suruhan Danang.

Tentu saja gadis itu tak menuruti kata-kata ayahnya. Kala berlari melewatkan begitu saja indahnya langit senja temaram yang selalu menjadi pemandangan favoritnya. Pandangan Kala hanya terpaku pada jalanan di hadapannya. Dia berharap akan ada seseorang atau siapapun yang melihatnya berupaya lepas dari jerat orang-orang brengsek di belakangnya. Kala tak peduli dengan nyeri yang mulai menyerang kakinya. Kala benar-benar tak peduli lagi. Dia hanya tidak ingin hidupnya semakin hancur dalam genggaman Danang dan siapapun yang hanya ingin memanfaatkannya.

"Kala, Ayah bilang berhenti!" Prasetyo masih mencoba menghentikan Kala meski napasnya tersengal. Kakinya sudah tak sekuat dulu. Kecepatannya berkurang drastis. Tak heran jika pada akhirnya Haryo dan Riski berlari melewatinya.

"Hei, berhenti!" pekik Haryo.

Kala terpengaruh. Gadis itu menoleh meski kakinya terus berupaya untuk tetap bergerak cepat. Namun, ternyata itu adalah gerakan paling fatal. Kala justru menerima lemparan batu yang mengenai kepalanya. Hentakan kuat menumbangkan Kala yang seketika seperti tak lagi memiliki daya apapun untuk bergerak.

Kala tersungkur. Namun, sebelum dia benar-benar tak sadarkan diri, Kala mendengar suara yang memanggil namanya lantang. Suara yang tidak asing lagi di telinganya. Suara yang teramat dia rindukan kehadirannya.

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang