5 | Kejutan Nahas

108 17 1
                                    

Hujan telah reda, tapi hawa sejuk masih tetap terasa sore itu. Sejak semalam, Kala mencari Drew tapi sepertinya lelaki itu tak mau dihubungi, ponselnya off dan ia tak terlihat ada di dalam rumah. Kala hanya bisa duduk termangu di tepian jendela dapur seperti biasanya. Matanya lurus ke arah jendela rumah Drew yang tertutup rapat. Dalam sepi yang senantiasa mengekangnya, pikiran Kala terseret mundur ketika baru pertama kali bertemu dengan Drew sepuluh tahun silam.

Saat itu musim kemarau baru saja usai, tapi cuaca masih cukup bersahabat. Segarnya putik-putik pohon mengintip malu-malu di ujung-ujung cabang yang meranggas. Sejumput lumut-lumut muda menghijau di sela-sela batuan. Seperti menyambut datangnya musim penghujan yang mengantarkan kesegaran di setiap detiknya.

Prasetyo, baru saja memarkirkan mobil—yang esoknya baru diketahui Kala adalah mobil sewaan—di halaman rumah bergaya minimalis dengan perpaduan warna yang didominasi putih dan abu-abu. Bersamaan dengan Drew yang datang bersama sepeda sportnya. Bocah lelaki yang tampak sedikit lebih tua dari Kala itu menarik pegangan rem sepedanya dengan cepat dan berhenti tepat di depan Kala yang baru saja keluar dari mobil.

Wajah bocah itu terlihat penasaran. Kedua matanya melebar dengan senyum tersungging di wajahnya ketika Kala hanya bisa diam menatapnya malu-malu. Gadis kecil itu sungguh tak pernah menyangka bahwa ia pada akhirnya akan sampai di titik ini. Dijemput oleh orangtuanya, tiba di rumah, dan disambut oleh teman sebaya yang terlihat begitu ramah di matanya.

Namun, mereka belum sempat berkenalan karena Prasetyo sudah terlebih dulu memaksa Kala agar masuk ke dalam rumah. Lelaki itu berdalih Kala butuh istirahat setelah perjalanan. Kala sebenarnya enggan karena dia lebih tertarik pada Drew. Tapi tak ada yang bisa dilakukan Kala selain menuruti ayahnya yang saat itu masih sangat ia hormati keberadaannya.

Ternyata, itu bukanlah akhir kesempatan Kala berjumpa dengan Drew. Di lain waktu, mereka kembali berada di tempat yang sama dengan sejuta waktu yang akhirnya menciptakan jalinan persahabatan di antara keduanya.

Kala selalu senang mengunjungi Drew, terutama saat kali pertama ia melihat anak laki-laki itu bermain basket di taman dekat kompleks rumah mereka. Tak satupun bola luput dari keranjang basket. Kala masih ingat betul kalimat apa yang terucap saat mereka berkenalan satu sama lain.

"Mau coba?" tanya Drew sambil melempar bola ke arah Kala berdiri, gadis itu gelagapan. Tangannya kaku, tentu saja. Ia belum pernah sekalipun mendribel bola seperti yang dilakukan Drew. Apalagi, jika kemudian dengan tiga langkah saja langsung shoot ke keranjang. Kala berkali-kali kikuk. Bola basket itu bukannya tertangkap tapi malah mengenai perutnya. Beberapa orang bocah lain yang berada di pinggir taman berteriak menertawakannya.

Nyaris saja Kala menangis mendengar sorakan tawa itu, tapi Drew justru bersikap sebaliknya.

"Nggak apa-apa, mereka yang tertawa itu belum tentu juga jago main basket," ucap Drew menenangkan Kala yang masih gugup memegang bola di tangannya.

"Kalau kamu mau, boleh kok ikut main basket denganku di sini setiap sore," tawar Drew yang menjadi awal kedekatan mereka.

Kekaguman Kala bertambah saat Drew remaja tampil bersama grup band di malam perayaan tujuh belasan kompleks rumah mereka. Semua mata wanita tertuju padanya. Kala tahu, bahwa sahabatnya itu memang memiliki pesona yang tak terelakkan.

Sejak saat itu, Kala mengagumi Drew layaknya seorang idola. Apalagi ketika lelaki itu mengajarinya teknik bermain gitar. Tak jauh beda dengan Kala, Drew juga merasakan kekagumannya pada gadis yang hobi menggambar itu. Meskipun terkadang Drew merasa kurang nyaman dengan emosi Kala yang berubah-ubah sejak ia sering mengalami kekerasan fisik dan mental dari ayahnya, Prasetyo beberapa bulan sejak kepindahannya.

Lamunan Kala dibuyarkan oleh bunyi pintu yang terbuka lebar di belakang punggungnya. Ia tahu itu Prasetyo, meski tidak mendengar raungan mesin sepeda motor butut yang masih setia digunakan ayahnya itu.

Lelaki itu berjalan masuk dengan langkah gontai tapi matanya mengunci Kala lekat.

Kala bangkit dari kursi hendak mengambilkan Prasetyo segelas air, tapi suara parau ayahnya itu justru membuat Kala terkejut hingga gelas di tangannya tergelincir dan pecah.

"Cepat kemasi barangmu, karena kamu akan aku nikahkan sama Danang!"

Sweet but PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang