11 | Titik Terang

68 11 0
                                    

Kala masih ingat betul saat dia memutuskan untuk mengakhiri hidup. Hari itu seharusnya menjadi hari yang cerah karena matahari bersinar sepanjang hari setelah sebelumnya tak pernah absen diguyur hujan. Jam dinding menunjukkan pukul dua siang. Kala duduk sendirian di tepian jendela dapurnya.

Namun, cahaya matahari tiba-tiba meredup. Awan kelabu berarak di angkasa. Kala semakin gelisah dan hatinya menjadi tak menentu.

Kala menggigiti bibirnya untuk menahan tangis, karena Prasetyo selalu melarangnya menangis. Jika Kala berani menangis, maka satu pukulan atau tamparan akan mendarat di wajah maupun tubuhnya dengan lebih keras. Prasetyo mengaku tidak suka anak yang lemah dan cengeng. Maka itulah yang Kala lakukan—diam dan tidak cengeng.

Kalimat demi kalimat yang terlontar dari mulut Drew menggema di telinganya. Hampir setiap kata itu menghunjam seperti belati. Kala bertanya-tanya dalam hati, apakah Tuhan memang sedang mempermainkanku?

"Wanita di foto ini mirip dengan seseorang di kantorku. Entah siapa namanya, yang jelas dia adalah ibunya Ray," jelas Drew.

"Ray siapa?" Kala mencoba mencerna kata-kata Drew dengan baik.

"Soraya Alexandra, selebgram dan—"

"Hah? Ray yang cakepnya amit-amit itu?! Jadi, selama ini kamu kerjanya sama Ray? Ray yang punya followers hampir lima juta itu?!" Kala seolah kehilangan fokusnya.

Drew mau tak mau tertawa heran melihat sikap Kala yang berubah drastis hanya karena seorang Ray.

"Iya, Ray yang itu," jawab Drew.

"Terus? Kok bisa ibuku jadi ibunya Ray? Berarti aku saudaraan sama Ray?" kedua mata Kala melebar.

Senyum di wajah Drew sirna. "Kal, aku kan sudah bilang sama kamu. Jangan menyimpulkan dulu kalau ibunya Ray adalah orang yang sama dengan yang ada di foto ini. Kalau kamu cara mikirnya kayak gini, aku jadi beneran ragu lho untuk bawa kamu ketemu mereka atau nggak," jelas Drew selembut mungkin.

"Yaaah... jangan gitu dong, Drew." Air muka Kala berubah sedih. "Please, bawa aku ke tempat itu," pinta Kala.

Drew menghela napas panjang. "Jujur aja, Kala aku nggak tahu apa yang harus aku lakuin sekarang. Aku ingin banget nolongin kamu, tapi..."

"Tapi kamu takut bawa aku yang gila ini ke tengah teman-teman kamu? Makanya kamu juga paksa aku ketemu sama psikolog, terus psikiater! Iya?!" gejolak emosi Kala tersulut seketika.

"Kala, aku mohon!" satu tangan Drew berusaha memegang kedua tangan Kala, sementara tangan lainnya meraih bagian belakang kepala gadis itu, menariknya ke dalam pelukan.

"Nggak pernah sekalipun dalam pikiranku takut sama kamu!" tegas Drew berusaha mengunci tubuh Kala di dadanya yang bidang. "Tapi, aku mau yang terbaik buat kamu. Itu aja."

Napas Kala naik-turun, tapi dengan begitu dia bisa menghirup dalam-dalam aroma parfum Drew yang mirip seperti aroma segar angin laut yang dingin. Tanpa sadar, Kala menjadi lebih tenang.

"Kumohon bantu aku ketemu sama ibuku. Aku janji nggak bakal bikin kamu susah, Drew," isak Kala.

Drew bimbang. Tak tahu bagaimana harus memutuskan.

Deru laju kendaraan di luar kaca mobil Drew mengisi kekosongan di antara mereka berdua. Kala masih menangis, hanya saja dia tak perlu susah payah mengeluarkan suara isaknya.

"Baiklah, aku bakal ajak kamu sekarang juga ke kantor. Kebetulan siang ini ada meeting untuk proyek vlog terbaru Ray di Sumba," kata Drew tepat di telinga Kala.

Gadis itu buru-buru melepaskan diri dari dekapan Drew. "Kamu serius?"

"Iya, aku serius. Tapi, kita perlu rencana yang lebih matang," kata Drew mengakhiri pembicaraan mereka sebelum akhirnya kembali menarik tuas persneling dan menginjak pedal gas.

Sweet but PsychoWhere stories live. Discover now