10 | Misi Pertama

70 13 0
                                    

Kala tahu Drew khawatir.

Tentu saja Drew khawatir. Baru sebulan lalu Kala keluar dari rumah sakit. Drew menemukan Kala tergeletak di lantai dapur dekat jendela dengan mulut penuh busa dan botol berisi cairan pembunuh serangga di sampingnya. Kala yang saat itu kejang-kejang segera digendong Drew ke dalam mobil untuk dilarikan ke rumah sakit. Seandainya Drew tidak memberanikan diri datang ke rumah Kala siang itu setelah puluhan kali menelepon dan mengirim pesan, mungkin nyawa Kala tidak bisa diselamatkan.

Oh, tolong jangan tanya di mana keberadaan Prasetyo saat itu. Karena Drew pun yakin, Prasetyo yang memicu Kala berbuat nekat seperti itu.

Perut Kala dipompa, racun dari obat pembunuh serangga yang telah ditelannya berhasil dikeluarkan, kemudian gadis itu opname di rumah sakit selama tiga hari dengan biaya sepenuhnya dari orangtua Drew yang turut prihatin.

Parahnya, saat Drew bertanya apa yang terjadi, Kala hanya menjawab dengan senyum dan kalimat nggak apa-apa.

Tentu Drew tidak percaya. Sama seperti kali ini.

"Beneran tadi semuanya baik-baik aja?" desak Drew untuk kesekian kali. Kala berada di ruangan Rossie selama hampir satu jam. Kala sama sekali tidak terlihat berbeda dari sebelum datang ke tempat itu.

Drew berharap Kala sedikit lebih ceria.

"Iya," jawab Kala data tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan dari jendela mobil.

Mereka kini berhenti di lampu merah. Sepeda motor satu demi satu mengisi ruas jalan di sebelah mobil Drew. Dan Kala melihat sebuah bus mendekat dengan lambat.

Seketika Kala membatin, gimana ya rasanya ditabrak bus?

"Tadi Tante Rossie bilang apa?" pertanyaan Drew berhasil membuyarkan lamunan Kala.

"Banyak dan aku nggak ingat."

Drew terdiam sembari menatap ke arah nyala lampu lalu lintas yang masih merah. Dia sadar Kala sedang tidak ingin membicarakan hal itu. Jadi, kepalanya berusaha memikirkan pembahasan apa yang sekiranya cocok dengan perasaan Kala saat ini.

"Kamu mau kita membicarakan apa?" Drew menolehkan kepalanya ke arah Kala yang berpangku tangan menatap lurus ke dapan menembus kaca mobil.

Gadis itu terdiam sesaat, kemudian sedikit membungkuk meraih tas ransel yang sengaja ia letakkan di dekat kakinya. Satu tangannya menarik restleting dan tak lama kemudian selembar foto sudah berada dalam genggaman tangannya yang semakin kurus.

Bunyi klakson mobil yang berhenti tepat di belakang jalur Drew membuyarkan keheningan di antara mereka berdua. Mata Drew beralih ke arah lampu lalu lintas yang telah berubah hijau. Satu demi satu kendaraan sudah melaju, tak terkecuali Drew yang pada akhirnya menginjak pedal gas perlahan.

"Foto siapa itu, Kal?" tanya Drew hati-hati. Dia tahu segala yang berada di dalam ransel Kala itu sangat berarti bagi hidupnya, karena gadis itu rela kembali ke rumah Prasetyo hanya demi mengambil benda itu yang tertinggal.

Kepala Kala yang tertunduk perlahan bergerak naik. Dia memutar tangannya sedikit agar Drew bisa melihat gambar apa yang tercetak di kertas foto usang itu.

"Ibuku."

Kening Drew mengerut. Dia tak bisa mengunci gambar itu di matanya karena jalanan yang bergelombang. Lelaki itu terpaksa menepi karena terlalu penasaran.

"Boleh aku lihat?" tanya Drew setelah mobilnya berhenti tepat di pinggir trotoar.

Kala mengangguk dan membiarkan Drew mengambil alih foto itu dari tangannya. Drew mengamati seksama dengan ekspresi yang tak tergambarkan. Dia membalik foto itu, membaca setiap kata yang tertulis di sana.

"Artika..." gumam Drew mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dia terlihat sedang memikirkan sesuatu.

"Kenapa Drew?" untuk pertama kalinya, Kala merasakan firasat baik. Bayangan soal kematian dan bagaimana rasanya tertabrak bus menguap, lenyap di udara.

"Sepertinya aku pernah ketemu sama ibumu deh, tapi—"

Mata Kala melebar mendengarnya. "Tapi apa, Drew?"

"Aku belum sepenuhnya yakin," jawab Drew sambil mengetukkan jemarinya di atas kemudi.

"Tolong ingat-ingat lagi, Drew!" pinta Kala yang kali ini sudah mencengkeram lengan Drew kuat-kuat.

Kedua mata mereka beradu. Jauh di lubuk hati Drew ingin sekali menolong gadis yang teramat disayanginya ini untuk bisa bertemu dengan ibu kandungnya dan mengakhiri semua penderitaannya. Namun, Drew paham bahwa semuanya tak akan mungkin semudah itu.

Dering ponsel Drew mematikan kesunyian.

"Sebentar ya!" kata Drew sambil meraih ponselnya yang menyala di dekat tuas persneling. Nama Iraz tertera di layarnya dengan sederet angka.

"Siang, Raz," jawab Drew.

"..."

Kala hanya bisa bersabar menanti kelanjutan jawaban Drew atas teka-teki ibunya. Sesungguhnya dia ingin sekali marah pada si penelepon yang mengganggu urusannya dengan Drew. Tapi, Kala tahu dia harus mulai belajar untuk mengontrol emosinya.

"Oke, aku kesana sekarang!" kata Drew sebelum mengakhiri pembicaraannya dengan seseorang bernama Iraz.

"Kamu mau pergi? Trus aku gimana? Pembicaraan soal ibuku gimana?" cecar Kala.

"Kamu ikut aku, tapi sebelumnya aku mau jelasin sebentar di mana aku bertemu sama ibu kamu." Drew menatap Kala sambil memegang bahu gadis itu.

Kala terlihat penasaran, binar matanya tidak bisa menipu.

"Tapi, sebelum aku cerita sama kamu, ada beberapa syarat yang harus kamu patuhi dulu."

Ekspresi wajah Kala berangsur berubah. Mimik tak suka terpancar lekat. "Syarat apa?"

"Seperti janjiku kemarin, aku bakal bantu kamu cari ibumu. Setelah aku lihat foto ini..." Drew mengibaskan foto di tangannya, "aku yakin kalau aku bisa mempertemukan kamu sama beliau. Hanya saja, ini semua berhubungan sama pekerjaanku. Ditambah lagi, aku masih belum seratus persen yakin. Jadi, kamu harus nurut sama aku untuk beberapa hal."

"Apa aja?" Kala kembali bersemangat.

"Pertama, kamu nggak boleh langsung menganggap orang ini adalah ibumu sebelum kita dapat bukti-bukti bahwa dia benar-benar ibumu," kata Drew.

Kala mengangguk cepat. "Apalagi?"

"Kedua, kamu bakal ikut aku setelah ini tapi pura-puralah jadi adik sepupuku biar nggak ada yang terlalu curiga kenapa aku harus bawa kamu ke kantor."

"Jadi kamu sekantor sama ibuku?!" Kala terkesiap.

Sweet but PsychoWhere stories live. Discover now