9 | Sakit Jiwa

92 14 1
                                    

Jika bukan karena desakan Drew— dan Tante Hanny, ibunya—juga janji untuk membantu mencari keberadaan ibu kandungnya, Kala tidak akan pernah berada di ruangan bercat biru muda itu. Di tepi jendelanya tergantung tirai berwarna kuning gading yang cantik dengan tirai putih transparan melapisi bagian sebelum kaca.

Kala duduk di sofa abu-abu. Di depannya ada seorang wanita setengah baya duduk di sofa serupa dan tersenyum padanya.

Kala menyadari, bahwa senyum itu adalah jenis senyum ramah yang hangat, hanya saja Kala tidak bisa merasakan kehangatan itu sampai kepadanya. Suhu ruangan itu terlalu dingin atau mungkin hanya Kala yang merasa kedinginan. Entah, dia pun tak tahu jawabannya.

Kala membuang muka. Tatapannya tertuju pada dinding kosong membosankan di ruang samping kanan, sama membosankannya dengan ruang samping kiri yang hanya diisi oleh kursi, meja panjang, dan rak buku tinggi. Pun tak lebih baik dari dinding di belakangnya yang memuat pintu dan jam dinding yang berdetak mengisi kesunyian.

Tadi, begitu tiba di tempat ini, Drew menyuruhnya masuk sendirian dan bertemu dengan wanita setengah baya itu, yang memperkenalkan diri sebagai Rossie. Berdasarkan cerita Drew, Rossie adalah sahabat ibunya yang bisa membantu kondisi Kala lebih stabil jika ingin memulai pencarian ibunya. Karena alasan itulah, Kala setuju. Apalagi ketika Drew mengatakan bahwa ini adalah syarat mutlak agar lelaki itu mau mengantarnya kembali ke rumah untuk mengambil foto ibunya yang tertinggal di sana.

"Bagaimana kabarmu hari ini, Kala?" tanya wanita di depannya sambil menyerahkan beberapa lembar kertas putih di alas papan.

"Baik," jawab Kala yang terang-terangan menunjukkan ekspresi terganggu.

Rossie tersenyum dan menyerahkan pensil kepada Kala. Wanita itu kemudian meminta Kala menuliskan nama beserta usianya. Kemudian Rossie meminta Kala menggambar pohon, rumah, dan orang di masing-masing kertas sekaligus ketiganya di kertas terakhir. Kala tidak diberi jeda terlalu lama tiap kali menyelesaikan satu gambar dan melanjutkan gambar lain. Meski begitu, Kala menurut saja. Dia senang menggambar. Rasanya lebih baik disuruh menggambar ketimbang ditanya-tanyai seperti pencuri.

Kala mendongak setelah menyelesaikan gambar terakhir.

Rossie menatapnya sambil tersenyum. "Sudah? Sekarang saya mau kamu mengisi ini. Wanita itu memberikan lagi beberapa lembar kertas yang berisi butir-butir pernyataan.

"Di setiap nomor, kamu akan menemukan beberapa pernyataan. Pilih salah satu yang paling sesuai dengan diri kamu selama dua minggu terakhir. Nggak perlu terburu-buru."

Kala sudah berniat menjawab asal-asalan saat menerima tugas baru dari Rossie agar pertemuan itu cepat usai, tapi urung dia lakukan. Ketika Kala membaca setiap kalimat dengan seksama, gadis itu mendapati banyak sekali pernyataan yang sangat menggambarkan dirinya saat ini. Rasanya seperti ada seseorang yang sangat memahami siapa Kala sebenarnya. Pernyataan tentang sering bunuh diri itu sangat Kala. Begitu juga dengan pernyataan bahwa saat ini dia merasa tidak memiliki masa depan. Juga pernyataan tentang membenci diri sendiri dan pernyataan tentang keinginan untuk menangis sepanjang waktu, selama yang bisa Kala lakukan. Akhirnya, Kala memutuskan untuk menjawab setiap detail pertanyaan dengan sungguh-sungguh.

Ketika selesai, Rossie mengambil kertas dan alas papan dari tangan Kala. Rossie memeriksa jawaban Kala, sementara gadis itu menyempatkan melirik sedikit ke arah Rossie untuk membaca name tag yang disematkan di baju wanita itu—Rossie Saraswati, Psikolog.

Psikolog.

Ini bukanlah kali pertama Kala bertemu dengan ahli kesehatan jiwa. Sebelumnya, Drew dan ibunya sudah pernah membawa Kala bertemu seorang psikiater yang berujung pada pemberian abilify. Bahkan, psikiater itu menyarankan Kala untuk meremas es batu atau menempelkan perekat plastik di tubuhnya, lalu menariknya kuat-kuat ketika merasa ingin bunuh diri. Menurutnya, tindakan-tindakan itu lebih aman dilakukan untuk pelampiasan emosi Kala yang meledak-ledak karena dipicu berbagai faktor tertentu. Prasetyo, misalnya.

Bagi Kala, psikolog dan psikiater adalah tempat orang-orang sakit jiwa berobat. Sekarang Drew membawanya ke sini, dan Kala tidak tahan untuk tidak berpikir bahwa Drew menganggapnya sakit jiwa.

Kala terkekeh pelan menyadari itu, lalu terdiam saat menyadari kalau itu mungkin saja benar.

Mungkin dia memang sakit jiwa.

Gelombang putus asa datang dalam sekejap dan membuat Kala merasa kesedihan seolah ditimpakan padanya seperti rob. Perasaan itu membelenggunya seperti mimpi buruk yang tidak bisa ia akhiri lalu pelan-pelan kesadaran Kala menguap bersama keinginannya untuk hidup.

Aku ingin mati saja...

"Kala."

Saat suara itu menggema di telinganya—dengan tegas dan intonasi yang tak terbantahkan—Kala mengerjap, kembali pada kenyataan. Gadis itu kembali melihat ruangan serbabiru dan raut wajah yang baru saja memanggilnya. Untuk pertama kalinya, Kala terpaku menatap mata Rossie dengan warna kecokelatan yang lebih gelap dan tanpa kaca mata layaknya wanita paruh baya.

Rossie sudah selesai memeriksa pekerjaan Kala dan menyimpan alas itu di pangkuan. "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Kali ini Kala benar-benar tidak ingin repot berpikir. "Aku memikirkan tentang kematian."

"Kematian siapa?"

"Kematianku."

"Kenapa?"

Kala membisu. Gadis itu juga berusaha berhenti mempertahankan tatapannya pada Rossie yang masih menunggu jawaban. Dia bisa merasakan jantungnya berdetak lebih cepat dan tangannya mulai basah oleh keringat. Setelah beberapa menit berlalu, Rossie kembali bertanya. Namun, Kala tetap memilih bungkam.

"Kala." Rossie tidak lagi menggunakan intonasi tak terbantahkan, suaranya terdengar jauh lebih lembut. "Kenapa kamu memikirkan kematian dirimu sendiri?"

Hening.

Hanya terdengar desau pendingin udara dan detak jam dinding—juga detak jantung Kala jika Rossie bisa mendengarnya.

Hingga sesi itu berakhir belasan menit berikutnya, Kala tidak mengeluarkan sepatah kata lagi dari mulutnya.

Sweet but PsychoWhere stories live. Discover now