Prolog

7.6K 413 23
                                    

Aku berjalan menelusuri lorong kelasku. Kedua tanganku membawa tumpukan buku yang banyaknya seperti Gunung Everest. Terkutuklah pada teman-temanku itu, terutama Lulu, Indah, dan Teman Musuhku itu.

Berkat mereka, aku harus membawa setumpuk Gunung Everest ini ke perpustakaan dan merapihkannya.

Pih! Benar-benar merepotkan! Aku tidak tahu perpustakaan itu di mana. Wajar saja, aku belum setahun berada di sekolah ini.

Tak lama kemudian, akhirnya aku pun sampai di perpustakaan. Kalian jangan tanyakan kenapa aku bisa sampai ke sini, karena prosesnya itu benar-benar sangat rumit.

Aku harus bertanya kepada kakak kelas laki-laki populer yang berada di dekat kantin. Bukannya aku genit, centil, atau bagaimana, tapi hanya merekalah yang tersisa.

Yang lain pasti sedang belajar di kelasnya masing-masing. Sedangkan gelombolan kakak kelas populer itu ... hufftt ... orang pintar, mah memang beda, ya? Bisa bolos kapan saja. Toh, otaknya sudah genius.

Tapi aku sungguhan. Selain populer, mereka adalah gelombolan yang terkenal sangat pintar dan jago dalam bidang olahraga. Kalian tahulah, ya, orang populer mah bebas. Bisa godain cewek sana-sini.

Para cewek juga pasti langsung klepek-klepek, cipika-cipiki gitulah, ya. Cewek baperan, emang. Giliran nanti ditinggalin, eh nangisnya sejagat raya, sibuk bucin sana-sini.

Cih! Alay!

Jadi, dengan sangat terpaksa, aku harus bertanya kepada gerombolan itu. Semoga nasib baik menimpaku. Kalian juga harus mendo'akanku begitu. Karena aku tidak mau kena sial di pagi yang cerah seperti ini.

Ending-nya, aku memang digodain oleh gerombolan sialan itu. Aku dipermainkan dahulu, kemudian baru dikasih tahu arah menuju perpustakaan.

Uh, dasar merepotkan!

Ketika aku memasuki perpustakaan, di sini masih sepi. Sepertinya guru di sini sedang rapat. Jadi perpustakaan ditelantarkan begitu saja. Tapi tak apa, sendiri itu enak.

Aku berjalan ke rak buku fisika lalu menaruh seluruh buku fisika di tanganku ke rak ini. Aku harus melihat nomor pada bukunya dulu baru boleh memasukkannya ke dalam rak.

Jangan berkata aku rajin mengurutkannya! Ini memang sudah peraturannya begitu. Kalau tidak dipatuhi, aku bisa kena sanksi yang berat. Karena sedang malas dihukum, aku patuhi saja aturannya.

Ketika sudah selesai, aku berniat ke kelas. Tapi, kalau sedikit jalan-jalan di perpustakaan tidak apa-apalah, ya?

Kemudian aku berjalan menelusuri perpustakaan ini sampai akhirnya aku tak sengaja melihat seseorang sedang membaca di meja sana. Aku tersenyum kecil melihatnya.

Akhirnya aku mendapat teman, hahaha. Ayo kita ajak mengobrol dia.

Aku pun berjalan menuju ke arahnya dengan senyum ceria yang terlukis di wajahku. Kini, aku berdiri tepat di sampingnya. Lalu, aku menyentuh lengannya.

Seketika, ia langsung terkejut dan berdiri dari duduknya. Aku yang melihat itu pun langsung ikut terlonjak kaget.

"Ah, gue bikin lo kaget, ya? Maaf, maaf, gue beneran nggak ada niatan untuk bikin lo kaget, sumpah," ucapku dengan penuh penyesalan.

Kulihat ia hanya berdiri di hadapanku sambil menatapku lekat-lekat. Entah apa yang ia cari dariku melalui tatapannya itu. Aku tidak tahu. Ia melihatku seperti aku ini adalah seorang pencuri yang tidak mau mengakui kejahatannya.

Bodohnya lagi, aku justru ikut menatapnya. Kuakui dia memang sedikit ... tampan, uhukk! Tapi bukan itu yang membuatku menatapnya!

Yang membuatku menatapnya adalah ... iris biru langitnya itu. Iris matanya benar-benar sangat indah. Aku seolah-olah sedang melihat langit tanpa awan.

Aku menggeleng pelan. Aku tidak boleh terpesona olehnya! Siapa tahu dia berniat menyakitiku, bukan?

"Hei, apa lo mau maafin gue?" tanyaku padanya.

Kulihat ia menggeleng kecil. Aku menjadi bingung sendiri. Bagaimana membuatnya tidak marah lagi padaku? Tapi ... masa masalah kecil seperti ini saja sampai membuatnya marah begitu?

"Oke, lo mau gue ngelakuin apa supaya lo bisa maafin gue?"

Lagi-lagi ia hanya terdiam. Sedangkan aku menjadi kalang kabut sendiri. Bagus sekali, Fia kamu berhasil membuat orang lain kesal padamu dalam waktu kurang dari lima belas menit!

"Ishhh ... oke, oke! Gue bakalan traktir lo di kanti—"

Greep ....

Eh?

Aku merasa seperti langsung ditarik dan wajahku terbenam di dadanya.

Tunggu ... apa?

Dia ... memelukku?

Kurasa aku bermimpi. Yah, sepertinya aku bermimpi. Mana ada lelaki yang mau memelukku selain Papahku?

Tapi ... ini seperti sungguhan. Aku benar-benar berada di dalam dekapannya saat ini. Rasanya sangat nyaman. Aku seperti merasa terlindungi olehnya. Err! Jangan!

"Aku merindukanmu."

Eh?

Apa kita pernah bertemu? Ah, tidak. Aku yakin sekali aku tidak pernah bertemu dengan lelaki setampan dia. Tapi, kenapa dia mengatakan itu padaku?

Tak lama kemudian, ketika aku mencoba melepaskan pelukannya, ia langsung mendekapku tambah erat seolah-olah ia tak mau kehilanganku.

Baiklah, apa mungkin wajahku ini mirip dengan orang yang dirindukan lelaki ini? Ternyata wajahku cukup pasaran juga. Apa aku harus operasi plastik supaya wajahku tidak pasaran?

"Jangan pergi lagi. Aku tak akan membiarkanmu pergi lagi."

Hah?

Apa aku masih waras?

****


Cirebon, Jum'at 15 November 2019😊

New World [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang