1. Perisai?

5.1K 337 15
                                    

"BAKPIA MURAHAANNN! ELO BELUM BANGUN?! LIHAT SEKARANG UDAH JAM BERAPA, WOY!"

Sumpah ini toa mesjid atau suara Teman Musuhku, sih?! Kenceng banget suaranya, kagak ada bedanya ama toa mesjid. Lagian, kok Teman Musuh aku ada di sini, sih?! Siapa yang nyuruh dia masuk ke kamarku, heh?

"BAKPIA! LO NGEYEL YA KALO DIBILANGIN. BANGUN, NGGAK?! ATAU LO MAU GUE BANJUR?"

Aku diem. Bodoamat, kagak peduli. Paling cuma boongan doang. Aku tau, deh. Aku tuh bukan anak kecil yang bisa diboongin.

"HEI INI GUE BAWA BOTOL MINUM DI TAS GUE, NIH. MAU GUE BANJUR, LO?"

Nah, ini baru namanya mampus!

Aku lupa kalau dia selalu bawa botol minum ke sekolah.

"OH, OKEH! SATU ... DUA ... TI—"

"IYA INI GUE BANGUN, GILA!" teriakku kesal lalu langsung berlari menuju kamar mandi yang beruntungnya ada di dalam kamarku.

Menyebalkan sekali dia. Aku tahu sekarang udah jam setengah tujuh. Tapi santai ajalah, ya. Toh, masuknya jam tujuh ini. Hari ini memang upacara, sih. Tapi, kan nggak perlu serepot tadi.

Lagian, Kakak Laknat aku ke mana, sih?! Kalau ada dia, kan pasti Teman Musuhku ini langsung diem. Sok alim gitulah, ya. Katanya, mah jaga image  gitu.

Cih!

Padahal Kakak Laknat aku juga udah tau kelakuan dia yang sebenarnya kalau di sekolah. Maklumlah, ya namanya juga jatuh cinta. Orang kalo udah jatuh cinta, klepek-klepek, cipika-cipiki, pasti bakalan merhatiin dia.

Pih!

Padahal itu buang-buang waktu menurutku. Mendingan juga tidur, belajar, atau main, kek. Kayak nggak ada kerjaan banget merhatiin orang. Enakan juga merhatiin diri sendiri. Ya, kan?

Setelah berkutat dengan alat-alat mandi, aku langsung memakai seragamku yang beruntungnya tadi malam aku siapkan.

Aku sudah berjaga-jaga jika aku bangun telat, setelah mandi aku bisa langsung pakai seragam tanpa harus keluar kamar mandi dulu untuk mengambil seragam.

Cerdas sekali, kan aku? Iya, dong.

Setelah selesai, aku langsung mengambil tasku. Lalu mengambil barang-barang yang memang diwajibkan untuk dibawa oleh para kakak kelas sialan itu.

Ketika aku sudah mengunci pintu kamarku, dan menuruni tangga, aku langsung diserbu dengan tatapan tajam oleh Teman Musuhku ini. Aku mendengus kesal melihatnya.

"Pukul berapa sekarang, heh?" tanyanya.

Aku melirik jam di pergelangan tanganku, kemudian mendengus kesal. 

"Tujuh kurang lima belas."

"Jarak dari sini ke sekolah berapa menit?"

"Tiga puluh."

"Nah, sekarang lo mau telat sampe jam berap—"

"Kita naik mobil, dan gue yang nyetir! Dijamin dalam lima belas menit kita udah sampe di sekolah!"

Kulihat dia menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bergaya seolah-olah menantangku sekaligus meragukanku yang memang bisa menyetir mobil dari sini ke sekolah dalam waktu lima belas menit.

Terdengar mustahil memang, mengingat jarak dari rumahku ke sekolah lebih dari sepuluh kilometer. Tapi, kalo kita niat, tidak akan ada yang mustahil, kan? Jadi, tidak ada salahnya mencoba.

"Jangan menatap gue begitu! Gue yakin bisa mengendarainya dalam waktu lima belas menit!"

Kulihat Teman Musuhku itu hanya mengangkat bahunya tak peduli.

New World [REVISI]Where stories live. Discover now