21. Bakat

2.3K 216 5
                                    

Hari ini, pagi ini, salah! Bukan 'pagi ini', tapi aku tak tahu menyebutnya apa. Intinya, si Bule Kesasar ini dengan wajah menyebalkannya itu membangunkanku dengan brutal di saat langit-langit masih gelap seperti ini.

Kemudian dia menyuruhku untuk berlari mengelilingi lapangan yang entah sejak kapan aku baru sadar di sini ada lapangan. Luasnya itu seperti lapangan untuk pertandingan cabang olahraga di daerah kalian.

Aku berpikir sepertinya ia ingin membalaskan dendamnya padaku tentang aku melanggar batasanku sebagai tamu kemarin. Sekarang adalah waktu yang pas untuk membalaskan dendamnya itu.

"Cepat lari, Pia-pia! Tinggal lima putaran lagi!"

Aku tersadar dari lamunanku. Dia sungguh menjengkelkan! Menyuruh anak gadis sepertiku berlari di pagi buta seperti ini. Apa dia pikir stamina tubuhnya itu sama denganku, heh?!

Lalu tiba-tiba saja kepalaku langsung ditoyor dari belakang. "Aku tidak menyuruhmu untuk berlari sambil melamun! Cepat fokus!"

Aku mendelik tajam padanya. Dia dengan seenaknya menyeringai kejam padaku. Andai aku punya kekuatan untuk mengendalikan orang, akan kupastikan dia merobek mulutnya sendiri dengan tangannya.

"Ah, gue nyerah! Capek banget," keluhku sambil memperlambat laju lariku.

Kini keringat mulai keluar dari seluruh tubuhku. Aku seperti orang habis mandi. Dari dulu, hal yang paling tidak aku sukai adalah olahraga. Otak kananku selalu tidak berjalan dengan baik dalam hal olahraga.

Saking jarangnya olahraga, sampai pernah suatu hari ketika aku sedang pelajaran olahraga, aku sudah berencana untuk membolos pelajaran itu. Padahal waktu itu adalah praktek untuk olahraga basket, dan masing-masing murid harus berhasil memasukkan bola ke dalam ring.

Hasilnya, aku gagal membolos karena ketahuan oleh pak Agus, dan aku gagal memasukkan bola ke dalam ring. Padahal itu terhitung mudah. Teman-teman yang tingginya di bawahku saja bisa memasukkannya. Ditambah lagi, kakiku cidera setelah melakukan shooting atau apalah itu namanya. Sampai akhirnya, aku menganggap hari itu adalah nasib sialku.

Tak terasa tiba-tiba saja ada yang menepuk bahuku dengan pelan. Aku langsung menoleh ke samping. Bule Kesasar itu sudah menatap tepat di mataku. Membuatku sedikit terkejut.

"Lakukan lari empat putaran, cepat!" titahnya.

Awalnya aku berpikir Bule Kesasar itu sudah gila membujukku hanya dengan menepuk bahu seperti itu saja. Karena tentunya aku tidak akan menurutinya. Aku tidak mau menyakiti diriku sendiri dengan lari sejauh itu disaat kondisiku sudah lemas seperti ini.

Namun nyatanya, tubuhku seperti berjalan di luar pikiranku. Tubuhku justru menuruti apa kata Bule Kesasar dengan melanjutkan lariku. Kini pikiran dan hatiku terus-terusan melontarkan berbagai macam umpatan yang kuberikan khusus untuk Bule Kesasar itu.

Entah apa yang dilakukannya pada tubuhku sampai tubuhku sendiri menuruti apa katanya. Apakah tubuhku disihir? Jangan gila. Di sini kan katanya tidak boleh pake sihir.

Terus ... apa yang dia lakukan padaku? Aku terus berlari mengelilingi lapangan ini. Kaki-kaki kecilku benar-benar sudah protes ingin berhenti. Namun aku tak bisa menghentikannya.

Rasanya aku ingin teriak sambil mengumpati ribuan umpatan dariku untuk Bule Kesasar yang kini sedang mengacungkan jempolnya padaku. Kuyakin dia sedang meledekku saat ini. Herannya, kenapa mulutku tak mau terbuka? Apakah mulutku juga tersihir?

Tak terasa, matahari mulai menunjukkan sinar jingganya di ufuk-yang sepertinya-timur. Aku sudah melakukan lari yang sesuai perintah Bule Kesasar itu. Saking lelahnya, aku memutuskan untuk tiduran di pinggir lapangan yang luas ini.

New World [REVISI]Where stories live. Discover now