23. Belajar

1.9K 192 4
                                    

"Kau ini benar-benar gadis yang jahat sekali, Fia," omel Senior padaku. "Seharusnya kau tak melakukan hal seperti itu. Kau ini seorang gadis, seorang perempuan, dan seorang perempuan seharusnya memiliki sikap anggun yang tinggi, bukan menarik rambut orang blablablabla."

Seterusnya aku tidak mendengar ucapan Senior dengan jelas karena aku sedang malas berdebat dengannya. Suruh siapa dia menyuruh Bule Kesasar itu untuk membuat alat—aku ragu menyebutnya begitu, karena cara kerjanya itu dimakan dulu—supaya aku dapat mengingat masa laluku.

Aku hanya diam dengan pandangan berkeliaran tak tahu arah. Menipiskan bibirku, dan bertingkah seperti orang yang sedang mempertimbangkan sesuatu.

Aku masih penasaran sebenarnya. Untuk apa aku berada di dunia seperti ini? Apa tujuanku ke sini? Senior bilang, bahwa aku harus menemukan senjata itu. Tentu saja aku mana tahu di mana senjata itu!

Apakah diriku yang dulu itu mengingatnya, sampai-sampai si Bule Kesasar itu harus membuat benda aneh yang cara kerjanya harus dimakan dulu untuk memulihkan ingatan seseorang?

"Kau mendengarku tidak, Fia?"

"A-ah? Iya iya. Gue denger Senior," tuturku dengan sedikit gugup karena memang tidak begitu memerhatikannya.

"Ingat, Fia! Kau ini seorang perempuan! Perempuan tidak boleh begitu!"

Aku mengangguk patuh saja. Lagi pula, penting banget ya bersikap anggun di zaman seperti ini? Aku bukan seorang putri raja yang diwajibkan untuk mempelajari itu semua. Jadi untuk apa aku belajar hal yang tak berguna itu?

Ngomong-ngomong, sebenarnya aku cukup beruntung sih berada di dunia seperti ini. Daripada berada di dunia kerajaan yang bangun-bangun tidur sudah datang pelayan yang menyebut, "Anda baik-baik saja, Tuan Putri?" Itu lebih memalukan menurutku. Tapi aku sering membayangkannya.

"Sepertinya kau memang perlu untuk belajar tata krama."

Aku langsung melebarkan mataku. Ha? Dia ngomongnya tidak serius kan?

"Reaksimu tidak perlu berlebihan seperti itu. Kau memang harus belajar tata krama agar menjadi seorang putri yang baik."

Hng ....

Apa maksudnya ini?

"Senior, lo bercanda kan? Hahaha iya lo pasti bercanda. Kalo boleh jujur, itu nggak lucu sama sekali, Senior."

"Jujur boleh, tapi berpikir dulu itu membuat lawan bicaramu sakit hati atau tidak. Dan ... lo-gue? Bahasa apa itu? Gunakanlah bahasa yang benar."

Dia mengatakannya sambil menyilangkan kedua tangan di depan dada. Terkesan menantangku. Tatapannya itu ... cih! Aku benci tatapan begitu.

"Nggak. Mau!" ucapku dengan penuh penekanan.

"Ah, aku yakin sekali Lady Aquamarine  akan setuju dengan rencanaku. Bukankah begitu, Lady?" Senior seperti sedang menatap orang di belakangku.

Tunggu.

Di belakangku?

Hng ....

Tubuhku seketika menjadi menegang. Aku tak mau melihat ke belakang! Aku tak mau! Tak mau! Tolong katakan kalau di belakangku tidak ada apa-apa. Tolong katakan begitu!

"Ya, saya menyejutuinya Senior. Rencanamu sangat bagus sekali. Besok, akan saya panggilkan seseorang yang akan mengajarimu itu, Fia."

Matilah aku.

Dia benar-benar berada di belakangku.

"Dan ... sepertinya kau harus belajar mengenakan gaun dengan benar ya? Tidak apa-apa, saya bisa mencari orangnya."

New World [REVISI]Where stories live. Discover now