9. Perubahan Selanjutnya

2.7K 255 5
                                    

"Fia? Kamu pake softlens?" tanya Elma.

Ingin sekali aku mengatakan, "Ini bukan softlens!  Ini mata asli gue! Dan tadi gue ketemu babu setia gue yang ngubah mata gue jadi gini pas di toilet!"

Jelas sekali mereka tidak akan mempercayainya.

"Iya, tadi gue pake pas di toilet," jawabku bohong.

"Softlens-nya bagus, Fia," puji Nasiwa, gadis yang sangat manis menurutku.

"Masa? Gue nggak keliatan aneh pas pake ini?"

"Enggak, tuh," jawab Alaisya.

"Malah tambah unik, tau," tambah Elma disertai anggukan kepala yang lain.

"Oke, baiklah."

Aku beruntung sekali mereka tidak mengira ini mata asliku. Kalau sampai mereka berpikir begitu, mungkin saat ini juga aku akan dikirim ke luar negeri untuk menjadi bahan penelitian.

"Kita-kita nggak tau lo mau makan apa, jadi ya kita pesenin aja bakso, biar samaan. Gapapa, kan?" tanya Cwansya.

Aku mengangkat bahu. "Selagi nggak ada racunnya, gue makan, kok."

Aku pun duduk di samping Elma kemudian mencicipi baks—

"BAKPIA!"

Mampus!

Rasanya aku ingin tenggelam saat ini juga. Pasti dia marah karena aku tidak menjemputnya tadi. Oke, sekarang di mana aku harus tenggelam?

Aku langsung berdiri tegak dan bersembunyi di kolong meja.

"Eh, tutupin gue, dong cepetan!"

Teman-temanku dengan baik hatinya langsung menutupiku agar tak kelihatan. Untung mereka memakai rok yang panjang, jadi nggak perlu khawatir hal-hal aneh juga.

Di kolong meja sini, mulutku terus berkomat-kamit seperti mengucapkan sebuah mantra yang berharap Teman Musuhku itu segera pergi dari sini.

"Ada apaan, sih Fia?" tanya Cinta.

Aku menempelkan jari telunjuk di bibirku. "Syutt ... diem dulu."

Tiba-tiba aku merasa ada yang menepuk bahuku dari belakang. Seketika tubuhku saat itu juga langsung menegang. Ya Tuhan, semoga bukan Teman Musuhku.

Ketika aku menoleh, wajah Folandio sudah berada sekitar lima senti dariku. Refleks, aku langsung mendorong mukanya dengan tanganku dan aku yang memundurkan kepalaku sendiri. Alhasil, kepalanya dan kepalaku sama-sama membentur meja.

"Aduh ...," rintih kami bersamaan

"Eh, bego! Lo ngapain di sini, tolol?!" tanyaku padanya sepelan mungkin.

"Lah, lo sendiri ngapain di sini?" tanyanya balik.

Tolol emang.

"Oh gue tau. Lo pasti lagi bersembunyi dari orang yang manggil lo 'Bakpia' itu, kan?" tebak Folandio.

"Diem lo, anjir! Jangan keras-keras suaranya!"

Folandio memutar bola matanya dengan malas. "Iya iya, nih gue diem."

Tapi setelah itu kepalanya langsung keluar dari meja. Aku berpikir dia akan keluar dari sini, nyatanya itu di luar dugaanku.

"HEI TEMENNYA BAKPIA, NIH BAKPIANYA ADA DI SINI. LAGI MAU MAIN PETAK UMPET— MPPHHH"

Buru-buru aku langsung menarik kepalanya dan menutup mulutnya dengan kedua tanganku. Mungkin kepalanya Folandio kembali membentur meja. Tapi ya mau bagaimana lagi? Suruh siapa tadi dia berteriak seperti itu, heh?

New World [REVISI]Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt