📕 11. Vision

42 12 16
                                    

Apakah kemampuan melihat masa depan adalah sebuah anugerah,

atau justru malah sebuah kutukan?

Tergantung bagaimana sudut pandang seseorang menyikapinya. Bagiku, kemampuan ini, yang kumiliki, merupakan tanggungjawab.

Walaupun bukan aku yang memintanya.

"Kita tidak meminta kekuatan ini."

Suara berat pria mengejutkanku. Aku tidak ingat pernah mengizinkan seseorang memasuki ruanganku.

"Siapa kau?" gertakku.

Ia malah menyuarakan tawa. Setelah kabut hitam berkumpul, di tengahnya memunculkan sosok pria baya berjubah hitam.

"K-kau yang bersama Relam!" Lantas aku meraih benda keras di dekatku--botol tinta--lalu melemparkannya pada tamu tak diundang tersebut.

Ia tak mengelak karena botol itu melewatinya begitu saja.

"Hahaha, jangan khawatir. Aku tidak dapat menyakiti siapapun karena aku hanya berupa Vision."

"Vision?" Aku tak mengerti maksudnya.

"Aku ke sini cuman mau memperlihatkan sesuatu."

Tak hentinya ia berlaku membingungkan. Apa maksud dari semua yang dilakukannya.

Ia menjentikkan jarinya. Seketiba kenyataan yang kulihat terpecah bagai lapisan-lapisan kaca. Hingga semuanya jatuh dan hanya menyisakan gelap, tampak suatu tempat dalam kilasan-kilasan yang buram.

Aku melihat sebuah kereta kuda. Di dalamnya terdapat sosok yang mengejutkanku.

Itu adalah diriku sendiri, sedang duduk menatap pada seorang wanita muda berkacamata dan mengenakan zirah besi.

Aku kenal wanita itu. Giori namanya. Ia bekerja sebagai pengawal Leriat.

Giori menodongkan wand pada diriku--yang ada di dalam penglihatan itu--dengan tatapan dingin. Lalu, secuil bola air melesat bagai anak panah dari ujung wand tersebut, menembus jantung sosok diriku di penglihatan itu.

"Aaarggghhh." K-kenapa seketika dadaku terasa seperti ditusuk?!

"Mwahaha. Bagaimana rasa dari 'kematian', hmm?"

Kemudian terdengar suara teriakan memanggilku disertai bising gedoran pintu. Saat engsel berderit, penglihatan dan pria berjubah hitam itu sirna beserta rasa sakit yang kualami.

"Nyonya! Anda baik-baik saja?! Saya mendengar Anda merintih kesakitan."

"Tak apa, Giori. Aku tadi bermimpi buruk."

Giori masih menatapku risau, seolah tak percaya yang kuucapkan. Padahal nanti, kaulah pencabut nyawaku.

The Elementalist : Stained SkyWhere stories live. Discover now