Prolog

23.8K 667 23
                                    

Jika bisa menolak, pasti kan menolak. Hanya saja, ini semua sudah menjadi kesepakatan anatara dua keluarga. Menolak tak enak atau menerima, tapi dia terluka?

Ajarkan Aku Cara Bertahan

🌸🌸🌸

Gadis bergamis maroon dengan kerudung lebar hitamnya tampak mendongakkan kepalanya. Peluru langit baru saja turun, mengguyur Kota Bandung yang semula begitu terik.

"Alhamdulillah, hujannya sudah reda," gumamnya sembari memundurkan langkahnya perlahan.

"Argh!" Suara erangan kesakitan sontak membuatnya membalikkan badan. Dia terkejut saat mendapati seorang laki-laki yang tengah mengusap kaki kirinya.

Gadis itu menutup mulutnya. "Eh, maafin Kira, Kira gak sengaja," ucapnya cemas. Dia menginjak kaki lelaki itu tadi. Ini memang salahnya karena tidak melihat-lihat dulu sebelum melangkah mundur.

"Kamu punya mata, kan? Dipakai yang bener!" sarkas lelaki itu dan langsung melengang begitu saja.

"Astaghfirullah, kasar sekali pemuda itu. Tampan, tapi kok tak sopan," gerutunya lalu berlari kecil menuju mobilnya yang terlihat basah karena terguyur hujan.

Setelah mobil yang dikemudikannya menjauhi pelataran restoran tadi, Kira mendapati ponselnya yang berada di dalam sakunya bergetar panjang. Dia menepikan mobilnya di tepi jalan yang agak sepi lalu membuka ponselnya.

"Assalamu'alaikum," ucapnya.

"Waalaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Dzakira Talitha Zahra, ke mana kamu pergi? Bang Ali nyariin kamu terus sejak tadi."

"Iya, Kak Mutia, ini Kira baru perjalanan pulang. Kira matiin telponnya ya, Assalamualaikum," ucapnya lalu memutuskan sambungan telpon itu setelah kakaknya membalas salamnya.

Kira meletakkan ponselnya di jok sebelahnya dan kembali melanjutkan perjalanannya. Netranya fokus menatap jalanan lengang di depannya. Dia memutuskan untuk rileks setelah merasa tegang luar biasa akibat lelaki yang diinjaknya tadi. Tiba-tiba hatinya berdesir saat bayangan rupa lelaki itu kembali menyergap di pikirannya.

"Astaghfirullah, sadar, Kira! Gak boleh kaya gini, dosa!" cecarnya.

Mobil berwarna merah itu memasuki pekarangan rumah yang tidak begitu megah. Kira buru-buru memasuki rumahnya dan mendapati Ali—abangnya yang tengah duduk di sofa sembari bersidekap di dada.

"Kira, Abang mau ngomong penting sama kamu," ucapnya yang lantas menghentikan langkah perempuan itu.

"Assalamu'alaikum," ucapnya yang kemudian dibalas oleh Abangnya.

"Duduk sini!" titah Ali.

Sorot mata tajam dan suara tegasnya membuat nyali Kira kian menciut. Pasalnya, sang kakak jarang sekali menunjukkan ekspresi serius seperti itu.

"A-ada apa, Bang?" tanyanya ragu-ragu. Dia memilin gamisnya untuk menghilangkan kesan gugupnya.

"Semalam sahabat Abi telpon. Beliau meminta untuk tetap melanjutkan perjodohan ini."

Dzakira melongo tak percaya. "Abang mau nikah lagi? Kak Mutia mau dimadu? Abang kok tega?" tanyanya runtut.

"Astaghfirullah, Kira, itu tidak benar!" serobot Mutia yang baru saja datang dari dapur.

Kira menatap kedua kakaknya itu bergantian. "Gak mungkin kalau Zahra dijodohin. Dia kan masih bayi umur seminggu, Bang!"

"Istriku, apa kita perlu memanggil ustaz untuk merukiyah adikku?"

Dzakira membulatkan matanya tidak percaya. "Kira?" tunjuknya pada dirinya sendiri.

"Iya," sahut Ali cepat.

"Kira emang kenapa?" tanyanya lagi yang belum mengerti.

"Kira, kamu yang dijodohkan. Nanti malam keluarga sahabat Abi akan datang ke sini untuk mengkhitbahmu. Abang sudah tau masalah ini, maka dari itu Abang menyetujuinya."

Kira diam tak bergeming. Bibirnya mendadak seperti dilakban hingga tidak bisa mengeluarkan suara. Bahkan lidahnya pun terasa kelu.

"Ta-tapi, Bang, Kira kan baru mulai kuliah, semester awal pula." Akhirnya dia menyuarakan apa yang ingin dia katakan.

"Itu tidak menjadi masalah. Suamimu sudah mapan, Ra."

"Tapi, Bang, Kira gak kenal sama dia. Kira gak mau, Bang," protesnya yang kini mulai merasa sedih.

"Ra, ini sudah menjadi amanah Abi untuk Abang dan sahabat Abi. Jalani dengan ikhlas, Ra. Insya Allah semua akan ada jalannya. Mau ya, Ra? Tolong jangan kecewain Abi dan Ummi."

"Kira ke kamar dulu, Bang," ucapnya lalu segera menuju kamarnya dengan cepat.

"Mas, apa gak sebaiknya tidak usah dipaksa Dzakiranya? Kasihan dia, Mas," ucap Mutia merasa tidak tega jika adik iparnya dipaksa menikah karena perjodohan.

Ali menyunggingkan senyumnya. "Kita serahkan semuanya pada Allah saja ya, Sayang. Dzakira pasti bisa melewati ini semua."

"Tapi, Mas, apa gak kasihan dia menikah dengan lelaki seumuran kamu dan juga sikapnya berbanding terbalik dengan Dzakira yang begitu agamis."

"Justru itu yang diinginkan oleh sahabat Abi, mereka ingin anak lelakinya berubah seperti dulu lagi. Semoga Dzakira bisa membuatnya kembali seperti dulu lagi. Insya Allah, do'akan saja ya, Sayang."

****

Alhamdulillah, AACB balik lagi semuanya. Tentunya sudah dengan alur yang berbeda. Ada yang rindu Dzakira? Nggak ada, ya? Yah, ya udah deh gapapa. Jangan lupa antusiasnya☺

Jazakunallah khairan😇

Ajarkan Aku Cara Bertahan || Lengkap✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang