Prolog

3.2K 186 8
                                    

"Kita ditakdirkan untuk bertemu bukan bersatu"
-Jisya


"Kamu jadi nemenin aku sholat Jumat?" tanya pria yang sedang duduk di sampingku. Muhammad Arya Tama Saputra namanya, lelaki yang dua tahun belakangan ini menemani hari-hariku.

"Iya, Tam. Kenapa, hm?" jawabku sambil mengelus rambutnya dengan lembut.

"Gak pa-pa kok. Aku siap-siap dulu, ya?" pamitnya, lalu bangkit dari duduknya.

Aku hanya menganggukkan kepala sambil tersenyum tipis. Lalu ia berlalu menuju kamarnya yang berada di lantai dua rumahnya.

Tak lama kemudian datang wanita paruh baya yang tetap cantik walau usianya sudah hampir setengah abad membawa nampan kecil berisikan minuman dan makanan ringan sambil menunjukan senyuman hangatnya seperti biasa.

"Kamu mau nemenin Tama soljum, Ca?" tanya wanita itu. Sebut saja Bunda Yuni.

"Iya, Bun," jawabku membalas senyum hangatnya.

"Kamu nanti disana ngapain, Ca? Pasti bosen deh, khotbah nya tuh biasanya lama. Mending temenin Bunda aja di rumah," ucap Bunda Yuni pelan, penuh perhatian.

Aku tertawa kecil. "Gak pa-pa, Bun. Udah biasa juga kok," balasku sambil memegang tangan Bunda Yuni yang masih halus bak kain sutra.

Terlihat Bunda Yuni menghela napasnya pelan. "Yaudah deh kalo kamu maksa. Kalo bosen calling calling Bunda aja, ya?"

Aku terkekeh lagi saat mendengar ucapan beliau. "Iya, Bunda Sayang."

Di sini aku memang diterima oleh keluarga Tama, kecuali adik perempuannya. Aninditha Ryuma. Entah ada dendam apa, yang pasti dia membenciku. Oh atau karena perbedaan ini? Perbedaan keyakinan ini? Bisa jadi pasti.

Sudahlah, mari kita tinggalkan perbedaan ini sebentar.

Tiba-tiba Tama muncul dari arah tangga dengan tangan menenteng peci dan sarung sambil berjalan menuju ruang tamu, tempat aku dan Bunda Yuni mengobrol sembari menunggunya bersiap untuk soljum.

Tampan. Satu kata enam huruf yang sangat cocok untuk seorang Tama. Laki-laki ini memang definisi tampan, idaman, dan sempurna yang sesungguhnya. Serius deh gak boong.

Ctak!

Jidatku tiba-tiba terasa panas dan berdenyut karena ulah Tama yang menyentil jidatku yang mulus ini.

"Ck! Iseng banget sih! Sakit tau!" sungutku merajuk sambil mengelus bekas sentilan nya yang tidak main-main sakitnya.

Sambil cengengesan ia menjawab, "Maaf, Yang. Lagian ngelamun. Aku tau aku ganteng, gak usah gitu deh, kan jadi malu," ujarnya sambil membenarkan rambutnya sok ganteng walau memang ganteng sih hehe.

"Najong!" balasku.

"Udah ah, yuk berangkat!" ajaknya sambil mengulurkan tangannya padaku.

"Kamu bukannya udah wudhu?" tanyaku, menatap uluran tangannya.

"Belum, nanti aja pas di masjid," jawabnya. Lalu aku pun menerima uluran tangannya tanpa membalas ucapannya.

"Berangkat ya, Bun," pamit Tama pada Bunda Yuni, kemudian mencium punggung tangan beliau.

"Iya, hati-hati. Ica kalo bosen kabarin Bunda ya, Sayang," pesan Bunda Yuni saat aku mencium punggung tangannya bergantian setelah Tama.

"Siap, Bun," balasku dengan semangat.

Lalu aku dan Tama pun menuju mobilnya yang terparkir di depan rumahnya. Tanpa basa basi aku dan Tama pun memasuki mobilnya dan langsung berangkat menuju masjid.

Saat sampai tujuan, Tama langsung pamit turun dan berjalan memasuki masjid.

Lima belas menit kemudian.

Benar kata Bunda, ini membosankan. Tapi aku sudah terbiasa sih sebenarnya, walau... ya begitulah.

Oh ya, aku belum perkenalan hehe.

Namaku Lizbeth Jisya Butar Butar. Aku lahir pada tanggal tiga Januari. Aku anak kedua dari tiga bersaudara. Kakakku bernama Dionisius Simon Butar Butar dan adikku bernama Jovelyn Yoenya Butar Butar. Ya, kakakku laki-laki dan adikku perempuan. Karena itu kakakku sangat possessive padaku dan adikku.

Sedangkan orang tuaku bernama Jonathan Othniel Butar Butar dan Aleeza Sandara Butar Butar.

Kalau kalian bertanya, apakah keluargaku menerima Tama? Jawabannya iya, keluargaku menerima Tama dengan tangan terbuka. Ya walau terkadang ayahku marah padaku saat mengingat perbedaan keyakinan ini. Tapi untung ada ibuku yang menenangkan ayahku.

Dan saat ayahku sedang marah itu, ia selalu berkata, "Papa dan Mama memang menyambut Tama dengan hangat. Tapi kamu harus ingat. Kamu dan Tama memang ditakdirkan untuk bertemu tapi bukan untuk bersatu." Dan ayahku berhasil membuat hatiku tertampar dengan kata-katanya tersebut.

Aku tau dan aku sadar apa yang sedang aku jalani saat ini. Aku sadar dan tau seratus persen kalau apa yang sedang aku jalani saat ini adalah suatu kesalahan dan dosa besar yang pernah aku lakukan seumur hidupku.

"Ya Tuhan," gumamku sambil mengusap wajahku lelah. Lelah dengan perbedaan ini. Siapa yang tidak lelah jika memiliki perbedaan keyakinan dengan orang yang kita cintai? Kurasa tidak ada.

Oh ya, apa mau kuceritakan kembali bagaimana aku dan Tama bisa bertemu? Sepertinya ide bagus. Ya walau itu bisa membuatku merasa geli, sedih, bahagia, marah, malu, dan rasa lainnya.

Okay, let's get started.



Starting with;

Lee Taeyong as Muhammad Arya Tama Saputra

&

Kim Jisoo as Lizbeth Jisya Butar Butar


Our Space | Taeyong - Jisoo [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang