06 | Sixth Dream : That Red Eye

699 151 59
                                    

Kegiatan di sekolahku masih berjalan lancar. Walaupun aku ketinggalan beberapa materi saat aku koma, aku masih bisa mengejar beberapa materi yang tertinggal.

Kini aku dan teman-temanku sedang berjuang menyelesaikan soal ujian yang akan menentukan ranking kita nanti. Tengah semester lalu aku mendapatkan rangking ke-enam. Dan kini aku bertekad untuk menyabet ranking ke-lima di kelasku.

Begitu bel sekolah berbunyi aku dan beberapa murid yang sudah selesai mengerjakan soal IPA pada kertas ujian akhir semester satu ini langsung mengumpulkannya ke meja guru yang berada di depan.

Kulihat Aurel, teman ujian di sebelahku dengan nomor urut ke-tiga masih serius mengerjakan soalnya.
Kuharap nilai dia tidak seburuk saat ujian tengah semester ganjil saat itu.

Beberapa saat kemudian Aurel mengumpulkan lembar ujiannya lalu ia tersenyum tipis saat mata kami tak sengaja bertemu.

"Libur telah tiba~ libur telah tiba~" ujar seseorang yang berada di barisan belakang.

Guru yang masih setia berada di depan kelas menggelengkan kepalanya melihat kelakuan muridnya itu, lalu kembali melangkahkan kakinya meninggalkan kelas.

Beberapa murid sudah keluar dari kelas dengan senyum bahagia di wajahnya. Tak sedikitpun murid-murid yang keluar dengan wajah ditekuk karena tak bisa menjawab soal yang diberikan oleh guru.

Tyara menghampiriku dari belakang dengan senyum lebarnya. "Yuk pulang!" ajaknya.

Aku mengangguk lalu menarik tas ransel ke punggungku, kulihat wajah Viona di samping Tyara yang menampakkan kelegaan. Sepertinya ia berhasil menjawab semua nomor di ujian tersebut dengan benar.

Tyara menarik tanganku dan Viona lalu mengayunkannya ke depan dan ke belakang berulang-kali. "Libur telah tiba~" ujarnya.

Aku dan Viona tertawa lalu ikut menyanyi lagu tersebut di sepanjang koridor sekolah.

***

"Ke rumah nenek?" tanyaku memastikan.

Bunda yang sedang sibuk menyiapkan baju di dalam koper hanya menganggukkan kepalanya saat aku mengulangi ucapannya.

Aku tersenyum senang saat mengetahui bahwa aku akan berjumpa dengan nenek lagi.

"Kak Diana sama Abang Fakhri ikut?" tanyaku lagi.

Bunda menganggukkan kepalanya lagi, membuat aku bersorak 'yes!' dalam hati.

Aku langsung berjalan masuk ke dalam kamarku dengan semangat. Lalu mulai menyiapkan baju yang akan aku pakai besok saat ke rumah nenek.

Kini aku menatap jalanan kota yang tampak ramai oleh mobil dan kendaraan lainnya yang lalu-lalang. Padahal saat ini baru pukul 06.25, masih terlalu pagi untuk memulai suatu aktivitas.

Aku memilih mengistirahatkan tubuhku di dalam mobil membiarkan mimpi-mimpi liar menemani perjalananku sebelum aku sampai di rumah nenek.

Aku memang tak pernah bermimpi lagi saat aku sadar dari koma, atau mungkin aku memang tidak bisa mengingat mimpi-mimpiku lagi setelah aku bangun dari koma.

Apa aku harus koma lagi?

Kutepis pikiran bodoh yang tiba-tiba terlintas di otakku. Kau pikir nyawamu tidak lebih berharga dari sebuah mimpi liarmu?

Aku mulai memejamkan mataku, membiarkan suara deru mobil dan motor yang bersahut-sahutan menjadi suara pengantar tidurku sebelum kesadaranku berangsur hilang.

Saat aku membuka mataku aku telah berada di kota kelahiran bunda. Sawah-sawah hijau berjejer di sepanjang jalan menyambut kedatanganku dan keluargaku.

Alana : That Dream Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang