09 | Ninth Dream : A Forest Fairy

642 128 33
                                    

Hari menjelang petang, beberapa warga desa sudah menuju rumah mereka masing-masing. Dari jendela, kulihat langit jingga berpadu dengan warna merah dan ungu menghiasi langit sebelum tergantikan oleh gelapnya malam.

Aku diam mengamati luka yang sudah dibalut kain perban yang berada di lengan kiri ku. Sudah beberapa hari-hari aku berada di desa ini. Beribu pertanyaan menghantui sepanjang siang dan malam.

Kau yakin ini mimpi?

Aku mengacak rambutku gemas. Kupejamkan kedua mataku, kututup rapat-rapat kedua telingaku. Namun tetap saja suara-suara itu masih terngiang-ngiang di dalam kepalaku layaknya kaset rusak.

Suara pintu berdecit mengagetkanku. Dari sana muncul seorang gadis dengan rambut coklat yang ia biarkan terurai dipadu dengan gaun terusan berwarna putih tulang.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanyanya.

Aku diam, kembali menatap luka di lenganku, mengabaikan pertanyaannya layaknya angin lalu.

"Sebentar lagi lukamu akan sembuh ...." ucapnya sambil meletakkan sebuah mangkuk di atas meja.

"... Dan kau dipanggil oleh tetua desa ini besok pagi."

Kutolehkan kepalaku kepadanya, menatapnya lekat seolah aku telah melewatkan hal yang penting.

"Tetua desa orang yang ramah, ia hanya akan berbincang-bincang kepadamu besok pagi," lanjutnya yang menyadari kegelisahanku.

"Mengapa ia ingin berbicara denganku?" Ia hanya menggelengkan kepalanya. Lalu sibuk menyiapkan kapas-kapas dari dalam suatu kotak-entah untuk apa. Aku terdiam, menatap kosong langit senja.

Lantas jika ini bukan mimpi apa yang harus aku lakukan?

.

Aku menatap perempuan dengan rambut tergerai tersebut sedang tertidur di atas kursi kayu di pojok ruangan dengan diselimuti kain.

Diam-diam kulangkahkan kakiku menuju pintu. Kubuka pintu itu perlahan, berusaha untuk tidak membuat suara sedikitpun.

Suara decitan pintu terdengar lirih saat aku buka pintu pintu rumah ini. Aku menghembuskan napas lega saat gadis tersebut masih tertidur tenang di sana. Aku menutup pintu itu perlahan supaya tidak menimbulkan suara yang cukup keras.

Kulangkahkan kakiku yang di alasi sendal kayu. Udara malam yang dingin menggigit-gigit kulitku, kuusap kedua lenganku. Kepulan asap keluar dari mulutku begitu aku membukanya.

Cahaya redup obor dari setiap rumah cukup menerangi gelapnya desa saat malam. Kuedarkan pandanganku, desa ini dikepung oleh hutan di sebelah barat, sawah di sebelah Selatan, gunung di sebelah timur, sementar di Utara terdapat padang rumput luas.

Suara kerikil menggelinding di tanah mengalihkan perhatianku. Kulihat ke belakang, di sana terdapat sosok yang memperhatikanku dari belakang ditemani cahaya redup yang berasal dari api obor yang digenggam olehnya.

"Sedang apa disini?" tanyanya.

"Hanya ... tidak bisa tidur. Kau?" tanyaku.

"Sama sepertimu," ujarnya.

Perlahan sosok itu melangkah mendekatiku diikuti wajahnya yang semakin jelas di pengelihatanku. Dia menatapku lekat membuatku agak risih.

"Dari dulu aku bertanya-tanya ...." Dia menjeda ucapannya. Kulirik raut wajahnya, kedua alisnya tampak mengerut dengan tatapannya yang tertumpu kepadaku.

"Apa kau ... ehem, Peri hutan?" tayanya. Aku terdiam. Tak tahu akan menjawab apa. Aku bahkan tak tahu apa yang ia katakan.

Maksudmu Peri hutan? Aku?

Alana : That Dream Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang