P-7

3K 374 47
                                    





🌿🌿





Kebiasaan Rae Na, setelah melakukan operasi besar dia akan menjatuhkan diri di lantai dan bersandarkan dinding. Tidak peduli pekaiannya akan kotor.

"Kebiasaan" Tegur Seung Wan.

Namun, diabaikannya. Dia memilik mendongakkan kepala dan memejamkan mata. Rasanya lelah sekali. Terkadang, rasanya ingin menyerah. Terlebih jika mengatasi pasien dengan penyakit menular. Rasanya ingin berhenti dari pekerjaan ini.




"Kenapa ingin jadi perawat?" dulu Yoongi pernah bertanya seperti itu.

Saat itu keduanya berada di taman belakang tempat tinggal Rae Na. Duduk di rumput hijau di bawah pohon besar.

"Agar bisa merawatmu" jawab Rae Na dengan bercanda. Kepalanya disandarkan pada bahu Yoongi.

"Tidak salah?"

"Tentu saja. Harusnya kau jadi dokter saja. Jadi, kau dokter, aku perawatnya?"

"Tidak tertarik"

Rae Na memukul lengan Yoongi. "Hei! Jadi dokter itu keren, tahu?"

"Menjadi produser juga keren"

"Tapi, kau bukan produser"

"Tapi, aku bekerja sama dengan para produser"

"Ya, ya, ya, terserahmu saja"

Lalu, keduanya diam. Yoongi memilih membaca buku yang tadi dibawa sang kekasih. Tentang keperawatan sepertinya.

"Kau hafal semua yang ada di buku ini?"

"Tidak"

"Bodoh!"

"Tidak bodoh, tahu? Aku baru mempelajarinya. Lagipula, itu hanya buku referensi"

Mereka kembali diam. Rae Na yang masih menyandarkan kepala di bahu Yoongi, menatap langit yang tampak cerah dengan awal putih yang menyelimuti.

Menyamankan posisi, Rae Na menggandeng lengan Yoongi. Namun, pandangannya tetap ke atas. "Kau ingin tahu, kenapa aku mau menjadi perawat?"

Kini nadanya terdengar tidak bercanda. Yoongi lalu menolehkan kepalanya.

"Dulu saat aku masih SMP, aku melihat seorang ibu berjalan tergesa-gesa dengan menggendong anaknya. Anaknya masih kecil. Sekitar lima tahun ku rasa. Wajahnya pucat. Aku merasa kasihan. Lalu, aku berpikir jika aku seorang dokter pasti aku bisa mengobatinya"

"Kau berpikir jadi dokter, kenapa masuk keperawatan?"

"Dengar dulu! Aku belum selesai. Jangan menyela!"

Melirik Yoongi sebentar sebelum melanjutkan. "Tapi, menjadi seorang dokter biayanya terlalu mahal. Orangtuaku pasti kesulitan walaupun seandainya mampu. Dua hari kemudian, aku melihat seorang nenek didorong dengan kursi roda oleh pengasuhnya, ku rasa. Memakai seragam seperti perawat. Hanya saja warnanya merah muda. Saat itulah aku terpikir untuk menjadi perawat. Aku bisa merawat siapapun yang membutuhkan perawatan. Termasuk orang tuaku saat tua kelak. Selain biayanya tidak semahal menjadi dokter, ujiannya juga lebih mudah. Pikirku waktu itu"

Rae Na menegakkan tubuhnya. Lalu, menatap sang kekasih yang ada di hadapannya. "Sederhana, kan? Intinya aku hanya ingin berguna untuk orang yang membutuhkan. Ingin mendukung mereka yang membutuhkan dukungan. Ingin menemani mereka yang kesepian. Lebih dari itu, jika aku bisa menjadi pelayan masyarakat sepertinya keren"

Diakhiri dengan kekehan. Membuat Yoongi sedikit menyunggingkan senyumnya. "Berjuanglah"

Lalu, keduanya berpelukan. Tak lupa Yoongi memberi kecupan pada pelipis tersayangnya.





Memasuki kamar, Rae Na langsung menumpahkan tangisnya yang dia tahan dari rumah sakit. Dia rindu Yoongi-nya. Orang yang dulu memberi semangat untuknya. Orang yang selalu ada di belakangnya. Yang selalu menyediakan bahunya untuk bersandar.

Rae Na rindu, teramat rindu. Sampai rasanya ingin memeluknya.




~



"Yoon, kapan kau pergi ke rumah sakit lagi?"

Tanya sang ibu yang sedang menyaksikan berita di TV.

"Masih lama"

"Yoon, kau belum mencoba terapi hipnotis. Kenapa tidak kau coba?"

"Tidak. Aku tidak mau untuk yang satu itu"

"Kenapa?"

Tidak menjawab. Sepertinya Yoongi salah mengartikan tentang pengobatan yang satu ini. Hingga beberapa detik kemudian Yoongi bersuara.

"Bu, apa aku dulu punya kekasih?"

"Kenapa?"

"Mungkin ada seseorang yang dekat denganku? Aku bahkan lupa semua teman-temanku. Jika Hoseok tidak datang berkunjung waktu itu, mungkin aku juga tidak mengenalnya"

"Setahu ibu, kau punya satu pacar semasa SMA. Entahlah, jika ibu tidak tahu yang lain" Nyonya Min terkekeh. "Lalu, satu teman dekat saat kuliah"

"Hanya itu?"

"Itu hanya yang ibu tahu. Tapi, ibu ingat. Kau pernah bilang akan membawa kekasihmu ke rumah jika gadis itu sudah siap kau ajak menikah"

"Kapan?"

"Tidak lama sebelum kau pergi ke luar negeri"


"Kenapa?"

"Karena, dia baru akan lulus kuliah. Kau bilang seperti itu"





Bersambung®®

No caption ah. Sedang pusing.

Lavyu

Ryeozka

PLEASE, GIVE ME... / ENDWhere stories live. Discover now