CHAPTER 5 ◆ Terror That Has Surrounded And Begun To Entangle Slowly

134 8 0
                                    

          SEPERTI ada sepasang mata tajam yang sedang mengawasi, sehingga memaksa Aurora untuk segera terjaga. Ini masih tengah malam, akan tetapi ada sesuatu di dalam dirinya yang memaksa untuk membuat tidur nyenyaknya sedikit terganggu. Dia memang merasa ada yang mengawasi namun juga merasa belum yakin. Apa atau siapa yang mau mengawasinya saat ini? Dan di tengah malam pula?

          Aurora memandangi langit-langit kamarnya. Di mana lampu di bagian tengah plafon sengaja dipadamkan dan hanya menyalakan lampu tidur di atas nakas samping tempat tidurnya yang memancarkan cahaya lembut.

          Secara mendadak Aurora sedikit tersentak ketika melihat tirai di pintu balkon kamarnya tampak menggelembung terkena hembusan angin. Seingat Aurora, dirinya sudah menutup pintu kaca balkonnya ketika malam menjelang, dan bagaimana bisa tirai itu menggelembung jika tidak ada angin yang meniupnya? Lalu siapa yang telah membuka pintu balkonnya itu?

          Aurora berusaha menepis pikiran tak masuk akalnya—memikirkan hal-hal buruk, seperti ada pencuri yang masuk atau penculik dan lain sebagainya. Dia memilih segera beranjak dengan menyibakkan selimutnya lalu berjalan penuh hati-hati menuju ke arah tirainya yang terus menggelembung terkena hembusan angin yang menerpa terus menerus.

          Dengan tangan yang menjulur ke depan dan penuh gerakan waspada, Aurora berusaha menyibak tirai yang menggelembung tersebut. Berusaha meyakinkan dirinya agar tetap berani, dia meraih tirainya dan memeriksa dengan hati-hati di bagian balkonnya—memastikan tidak ada orang lain di sana. Hembusan angin tengah malam menerpanya bersamaan dengan helaan nafas lega. Aurora pikir akan ada yang menyerangnya dibalik tirai pintunya ini, namun baginya kali ini tidak perlu ada yang dikhawatirkan.

          Aurora hanya bisa menyalahkan dirinya sebab lupa menutup pintu balkonnya. Dia kembali mengingatkan dirinya bahwa dia tak perlu mengulanginya lagi di keesokan harinya. Menatap sekali lagi langit yang menggelap di atas sana tanpa adanya bintang-bintang yang berkilau, dia segera menutup pintu kaca balkonnya karena udara di luar begitu dingin.

          Ketika Aurora hendak berbalik badan, ada sesuatu yang mengejutkannya sehingga memaksanya untuk bersikap defensif. Tubuhnya mendadak menegang dengan jantung yang berdetak sangat kencang, bahkan dirinya merasa suhu di ruangan ini mendadak sangat dingin melebihi udara di luar sana.

          Tepat di depannya, ada sosok Vernon yang sedang menyeringai sinis dengan duduk di atas ranjang sembari menodongkan handgun padanya. Ini tanda bahaya.

          Mendadak Aurora merasakan sulitnya bernafas. Dia tampak tersengal-sengal hanya untuk menghirup udara. Vernon tampaknya menyukai bagaimana wajah paniknya saat ini. Pria tampan nan kejam itu seperti seekor hewan buas yang mengetahui mangsanya sedang ketakutan dan siap menerkamnya. Ini pertanda bahaya lagi.

          Saat ini Vernon mengenakan pakaian gelap sehingga membuat sosoknya tampak jauh lebih menyeramkan di dalam ruangan yang terlihat remang-remang ini. Apalagi ketika melihat mata abu-abunya yang tampak memancarkan bahaya, dan Aurora benci kenyataannya bahwa dia memang sangat takut hanya dengan melihat kehadiran Vernon yang sama sekali tak diduganya bisa datang ke apartemennya.

          “Hello, Aurora,” Vernon menyapa dengan nada suara yang dibuat semanis mungkin.

          “Bagaimana kau bisa tahu di mana keberadaan apartemenku? Dan bagaimana kau tahu dengan namaku?” Meskipun merasa takut, namun Aurora berusaha keras untuk bersikap setenang mungkin—ia tak boleh menunjukkan ketakutannya.

          “Jangan terlalu ketus padaku.” Vernon tak menghilangkan seringainya. “Apa kau berharap aku akan menjawab semua pertanyaanmu itu seperti seorang bocah yang jujur?”

The Dark DesireWhere stories live. Discover now