CHAPTER 6 ◈ The Tightening Noose Of Terror

137 9 0
                                    

          APA julukan yang tepat untuk seorang Vernon? Peneror? Pengancam? Pembawa masalah? Hanya karena Aurora membicarakan sedikit tentang dirinya pada Monica, Hillary dan gadis-gadis yang lain, pria tampan itu sudah bertindak kejam dan sesuka hati. Apa Vernon tidak berpikir bahwa perbuatannya ini benar-benar mengerikan? Apa dia juga tidak berpikir apa dampaknya nanti? Apa dia tidak takut pada hukuman jika pihak kepolisian mengetahui perbuatannya ini? Tapi ketika Aurora mengamati Vernon, dia tak menemukan sesuatu yang membuatnya menyesal di dalam matanya. Ini terasa janggal.

          Aurora cukup terkejut ketika mendapati dirinya masih bisa tidur dengan pulas setelah merasa gelisah tiap kali menutup matanya. Ketika terbangun, dia merasakan tenggorokannya terasa kering dan tidak nyaman—seolah-olah ada setumpuk pasir di dalamnya. Dia butuh segelas air putih. Belum lagi dia ingin buang air kecil ke toilet. Tidak mungkin dirinya malah mengompol di ranjangnya sendiri. Aurora masih memiliki rasa malu, apalagi itu di hadapan Vernon. Suasana di dalam kamar masih remang-remang, sebab lampu dipadamkan tanpa membuka tirainya. Di ikat di tempat tidur tentu saja membuat Aurora semakin tak nyaman. Pergelangan tangan dan kakinya terasa nyeri. Dia sangat menderita diperlakukan seperti ini.

          Pandangan Aurora mulai tertuju pada Vernon yang sedang sibuk di meja belajarnya sembari memegang sebatang pensil dan mengaplikasikannya ke sebuah buku. Aurora mengernyit heran. Apa yang dilakukan oleh Vernon? Dia sempat tidur atau tidak? Kenapa dia tampak segar dan santai? Berbanding terbalik dengan dirinya yang saat ini terikat di ranjangnya sendiri dengan rasa frustasi karena ingin lepas.

          “Hmph!” Aurora memekik tertahan karena mulutnya tertutup rapat. Tenggorokannya benar-benar sakit, jadi ia butuh segelas air dan tentunya yang paling penting adalah ke toilet. “Hmph! Hmph! Hmph!” Ia sengaja mencari perhatian pada Vernon agar mau melepaskan dirinya. “Hmph!”

          Vernon akhirnya melirik ke arah Aurora dengan wajah yang tidak menunjukkan simpati sama sekali. Tidak ada kekhawatiran maupun belas kasihan. Mungkin saja dia pun tak memiliki ketakutan akan hukuman dari pihak kepolisian. Sikap Vernon tampak tidak wajar. Aurora merasa jengkel melihat wajahnya itu dan ingin menendangnya keluar dari apartemennya.

          “Hmph!” Aurora lagi-lagi memekik tertahan seraya meronta-ronta agar Vernon mengerti maksudnya.

          “Kau ingin aku melepaskanmu?” Akhirnya Vernon mengeluarkan suaranya seraya menyeringai kecil.

          “Hmph!” Aurora mengangguk mengiyakan.

          Tawa sinis keluar dari bibir Vernon yang segera menghentikan kegiatannya yang sedang menggambar sesuatu. “Tidak semudah itu, Aurora.”

          “Hmph!” Aurora memandang Vernon dengan penuh permohonan. Jika ia bisa berbicara maka ia akan mengajukan penawaran. Seperti berjanji untuk tidak berusaha melarikan diri dan tetap berada di apartemennya, asalkan ia bisa minum dan ke toilet. Ini sangat krusial.

          Vernon tampak tidak peduli. Dia melanjutkan kegiatannya dan mengacuhkan suara teriakan yang dianggapnya cukup mengganggu. Aurora lagi-lagi dilanda frustasi terhadap sikap Vernon yang sangat menyebalkan dan apatis.

          Setelah setengah jam, masih saja tidak ada perubahan. Rasa haus semakin menyiksa Aurora, begitu juga dengan keinginannya untuk ke toilet. Aurora kembali meronta-ronta. Berharap mendapatkan perhatian lagi dari Vernon, akan tetapi pria tampan nan kejam itu terus mengacuhnya.

          Tak lama Vernon mulai beranjak keluar dari dalam kamar. Aurora hanya bisa mengeram frustasi melihatnya. Apa yang hendak dia lakukan lagi? Semoga bukan sesuatu yang membuat Aurora khawatir, apalagi ketakutan.

The Dark DesireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang