12

87 18 0
                                    

Masih ada yang nyimpan cerita ini di library?





Midam mengelus perutnya yang tidak semerta-merta menjadi rata lagi. Rasanya kosong, hampa.

Air matanya perlahan turun. 

Calon ibu mana yang tidak hancur hatinya ketika kehilangan buah hati yang kehadirannya selalu dinanti-nanti. Hari-harinya selalu diisi dengan impian jika suatu hari nanti bayinya akan lahir, lalu tumbuh dengan baik. 

Meski dia hadir karena ketidaksengajaan, tapi Midam benar-benar mencintai sosok yang bahkan belum pernah dilihatnya itu.

'cklek'

Suara pintu yang dibuka dengan pelan mampu membuyarkan khayalan singkat Midam tentang masa depan bersama Seobin dan buah hatinya yang sudah pergi. Pintu itu kemudian ditutup dengan sama pelannya seperti saat dibuka sebelumnya.

Si pembuka pintu melangkahkan kakinya dengan pelan ke sisi kanan ranjang Midam. Tangan kecilnya perlahan mengelus sayang surai Midam. Bersamaan dengan itu, suara tangis pilu kembali terdengar. Midam menenggelamkan wajahnya di dekapan sosok di depannya.

"Aku pernah merasakan seperti yang kau rasakan." Tangannya merengkuh Midam, semakin mengeratkan pelukannya. "Meskipun aku yakin rasa sakitku tidak sesakit yang kau rasakan." 

"Kak Shin." Midam masih menangis sampai suaranya terdengar putus-putus.

"Kau bisa menangis di hadapanku Midam, kau tidak perlu menjadi kuat dihadapanku. Tidak papa, menangislah."


                                                                                                  ~*~*~

Midam terbangun. Dia tertidur karena kelelahan. Menangis memang benar-benar menguras tenaga.

Handphone di meja samping ranjangnya berbunyi, ada dua pesan masuk sekaligus. Dari Seobin dan Junho. tentu pesan Seobin yang lebih dulu dibuka.

Seobin bilang dia akan mencari makan sebentar.

Pesan Junho kemudian dibuka. Katanya dia akan berkunjung. Sebelum membalas, Midam kembali membuka ruang obrolan dengan Seobin, mengatakan bahwa Junho akan datang.

Tak berapa lama pintu kamar rawat itu kembali terbuka, menampakkan Junho dengan wajah canggungnya.

"Masuklah." Ujar Midam.

Junho terus diam meski beberapa kali bibirnya nampak terbuka ingin mengatakan sesuatu, namun urung dilakukan.

"Katakan saja, jangan ragu." Suara Midam benar-benar menenangkan. Seperti seorang ibu yang meminta anaknya untuk bercerita bagaimana hari pertamanya di sekolah. Meski nyatanya orang didepannya ini adalah mantan calon suaminya.

"Papa kaka sudah bicara tadi." Sekilas sorot mata kecewa tampak di mata adik tingkatnya itu. "Aka sebenarnya masih ingin berjuang. Sangat ingin." 

Midam terus memperhatikan lelaki yang berbicara dengan wajah menunduk itu.

"Tapi aku sadar kalau kaka tidak akan pernah mau membuka hati padaku. Aku tahu diri sekarang." Mata itu menatap lurus ke mata Midam. Dia tersenyum kecil. "Aku memang tidak diberitahu kenapa kaka bisa ada di kamar rawat seperti ini, tapi aku tidak sebodoh itu untuk tidak memahami situasi." Lanjutnya.

"Jika kau tau, kenapa masih mencoba bertahan?" Pertanyaan yang dilontarkan dengan sedikit sinis.

"Aku awalnya tidak yakin dengan spekulasiku." Junho menengadahkan kepalanya. "Maaf pernah menjadi tokoh pengganggu diceritamu kak." Maafnya terdengar tulus.

"Tidak apa, semua sudah selesai." Midam tersenyum tipis, hanya dibibir. Oh ayolah, dia tidak akan sanggup tersenyum dengan keadaan yang baru saja dilaluinya.

"Aku permisi kak." Pamit Junho hanya dijawab dengan anggukan singkat.

Saat berjalan di koridor, Junho sempat bertatapan dengan Seobin yang berjalan tergesa ke arah kamar rawat Midam. Dia hanya tersenyum, berharap sosok yang begitu didambanya bisa lebih bahagia.


                                                                                                     FIN

Akhirnya tamat juga ini cerita nggak jelas.


Perfection in Imperfections : SEODAM (GS)Where stories live. Discover now