7

777 75 4
                                    

Dua bulan kemudian.

Hari demi hari telah berlalu, tak terasa kini telah dua bulan sejak kejadian pertengkaran hebat di antara Jeongyeon, Jihyo dan Nayeon waktu itu.

Hari-hari mereka kini tidak ada sapaan hangat atau candaan garing dari Jeongyeon seperti biasanya yang berakhir toyoran pada kepalanya. Baik Jihyo maupun Nayeon menjauhi Jeongyeon, bagaimana pun Jeongyeon meminta maaf pada mereka, selalu mereka hindari, yang berujung penolakan dari keduanya.

Dan Jeongyeon hanya bisa melakukan hal itu hanya tiga kali saja, karena mereka telah berjanji pada masing-masing, di dalam persahabatan mereka apabila salah seorang melakukan kesalahan dan ingin meminta maaf, maka diberi kesempatan hanya tiga kali saja. Selebihnya, mungkin akan mendapat perlakuan yang fatal. Karena tiga kali pun sudah dirasa cukup, sisanya hanya tinggal memikirkan apakah pantas untuk dimaafkan atau tidak.

Jeongyeon berjalan dengan lemasnya di koridor kampus, hari ini ia tidak bersemangat sama sekali. Rasanya hari-harinya semakin terasa berat tidak ada sahabat-sahabatnya seperti biasanya. Bahkan walaupun dirinya dan Jihyo berada di kelas yang sama, nyatanya Jihyo menjauhinya. Tidak ingin berdekatan dengannya.

Semua ini membuat Jeongyeon semakin merasa bersalah, penyesalan yang teramat dalam terus saja menghantuinya.

Jeongyeon tersenyum kecut, ia menatap pada Jihyo dan Nayeon yang tengah duduk berjauhan di kantin kampus. Seperti orang asing yang tidak saling mengenal satu sama lain.

Jeongyeon menghela nafasnya, lalu berjalan ke salah satu kursi. Dan duduk sembari menunggu Mina yang belum datang.

Pandangannya terus tertuju pada Nayeon dan Jihyo yang duduk berjauhan darinya. Itu terasa aneh awalnya, tetapi selama dua bulan ini, ia telah terbiasa melihat pemandangan seperti ini. Tetapi tetap saja, itu terasa aneh bagi Jeongyeon.

Nayeon yang duduk sendirian, padahal ia sama sekali tidak suka kesendirian seperti itu, bahkan ketika mereka masih bersama, Nayeon selalu minta pada mereka untuk menemaninya. Jihyo yang kini bersama laki-laki teman kelasnya, tidak biasanya Jihyo ditemani oleh laki-laki.

Jeongyeon tersenyum tipis kala melihat Mina yang tengah berjalan menghampirinya, "Udah lama?" Mina duduk di samping Jeongyeon.

Jeongyeon menggelengkan kepalanya, "Baru kok. Gimana tadi kelasnya?"

"Ya gitu, nanti ada kerja kelompok paling buat presentasi minggu depan," jawab Mina.

Ya, selama dua bulan terakhir juga, Mina selalu bersama Jeongyeon, menemaninya ketika tengah sendiri seperti ini. Dan terkadang juga mereka tidak sungkan lagi untuk memamerkan kemesraan mereka di kampus ataupun di tempat umum.

"Kamu mau apa? Udah sarapan belum?"

Satu hal yang Jeongyeon sukai dari Mina, sosok perhatiannya yang kadang melebihi seperti seorang ibu pada anaknya. Bahkan Mina yang disangka oleh orang-orang pendiam itu akan menjadi cerewet ketika dirinya yang selalu melewatkan jam makan atau melupakan sesuatu hal penting.

Jeongyeon menganggukkan kepalanya, "Udah kok."

Mata Mina memicing tajam menatap Jeongyeon, "Jangan bilang kalau cuman roti lagi?"

Jeongyeon terkekeh pelan. Mina selalu hapal tentang dirinya.

"Makan ya? Kamu udah kurusan gini Jeong," Mina mengangkat pergelangan tangan Jeongyeon untuk diperlihatkannya pada Jeongyeon, "Nih, liat. Aku gak suka kamu gini."

Jeongyeon tersenyum tipis, "Aku gak laper. Kamu aja gih sana."

Mina menghela nafasnya kasar, bagaimana pun ia memaksa Jeongyeon tetap saja ia lebih keras pada pendiriannya. Jeongyeon memang keras kepala, malah lebih keras dari pada batu.

With You (✔)Where stories live. Discover now