15. Berubah Status ✓

80 14 0
                                    

Nura

"Make up-nya Teteh tebelin di bagian mata, ya, Ra. Soalnya kantung mata kamu sedikit item. Kamu begadang?" tanya Teh Puspa, perias kepercayaan Eyang Endang, neneknya Mas Hasbi.

Eyang Endang sendiri adalah perias pengantin khas Jawa. Atau orang Jawa menyebutnya pemaes. Hasil riasan tidak terlalu tebal. Aku tidak ingin terlihat berlebihan meski itu acaraku. Ini pun mau dirias karena untuk menutupi kantung mata dan sedikit memberi warna pada bibirku yang terlihat pucat.

"Nura enggak bisa tidur, Teh," kataku jujur.

Seperti meminum kopi bergelas-gelas yang membuat jantung berpacu dengan cepat dan mengakibatkan sulit tidur. Pikiranku ruwet sekali tadi malam. Baru bisa memejamkan mata setelah salat malam dan membaca Al Quran berlembar-lembar. Barulah hati sedikit tenang. Jadilah sekarang kantung mataku membengkak, pasti terlihat sekali. Masa pengantin wanita jelek di hari spesialnya. Tidak lucu.

Teh Puspa malah tertawa. "Itu mah wajar, Ra. Setiap pengantin pasti mengalami susah tidur menjelang akad. Pasti Hasbi juga begitu," ucapnya.

Terdengar suara pintu diketuk.

"Siapa?" tanya Teh Puspa.

"Ratih," kata orang di balik pintu.

"Buka aja, Teh. Itu temen Nura," pintaku.

Ratih masuk setelah Teh Puspa membukakan pintu.

"Ra ... lo cantik banget." Bisa saja Ratih memujiku. "Gue jadi enggak sabar lihat cowok yang beruntung dapetin lo."

Pintu diketuk lagi dari luar. Namun kali ini  langsung dibuka.

"Udah selesai belum? Ayo, keburu siang, nanti macet," kata Ibu.

Akad nikah akan dilaksanakan di Masjid Al Hidayah. Aku yang memintanya. Sebab Aku ingin masjid itu mengabadikan sekaligus menjadi saksi setiap momen penting dalam hidupku. Sedangkan resepsi akan dilaksanakan di hotel dekat masjid agar tidak terlalu memakan waktu dan jarak. Karena setelah akad nikah, akan langsung dilanjut resepsi. Semoga acara resepsi tidak berlangsung lama. Malu, kalau terus menjadi pusat perhatian di pelaminan nanti.

Setelah sampai di Masjid Al Hidayah, aku duduk di tempat salat perempuan bagian bawah yang terhalang tirai dengan bagian laki-laki. Sedangkan bagian laki-laki digunakan untuk prosesi ijab kabul. Ayah langsung yang akan menjadi wali nikahku.

Aku meremas tangan Ratih. Hanya dia yang menemaniku. Ibu dan kakak-kakakku menyaksikan akad berlangsung. Hatiku tidak karuan rasanya.

"Tenangin hati lo, Ra. Sebentar lagi sah, kok," kata Ratih menepuk punggung tanganku.

Akhirnya kalimat itu selesai dia ucapkan dengan lantang dan tegas. Semua orang mengucapkan sah dan dilanjutkan pembacaan doa dari bapak penghulu. Bertambahlah prajurit penjagaku. Air mataku mengiringi bait-bait doa itu. Kuamini agar yang disemogakan dapat terkabul dan terwujud.

Ridhoi aku untuk menyempurnakan separuh agamaku karena-Mu, Ya Allah. Izinkan aku beribadah kepada-Mu bersamanya. Sucikanlah cinta kami sebagaimana Engkau mencintai kesucian. Dan cintakanlah aku kepadanya sebagaimana dia yang telah mencintai-Mu dengan tulus ikhlas. Kutarik tangan gemetarku untuk menyentuh wajah. Mengakhiri amin dalam seutas doa.

Ratih memelukku. Kami tidak bisa menahan tangis yang sedari tadi tertahan. Kami menangis bersama dalam pelukan erat. Ratih tidak akan tahan melihatku menangis, dia akan langsung ketularan juga. Sekuat itu persahabatan kami.

"Udah peluk-pelukannya. Sekarang itu yang dipeluk suaminya," ucap Mbak Herra. Dia merusak acara melankolis kami berdua.

Selesai lepas dari pelukan Ratih, aku langsung memeluk Mbak Herra.

"Loh, suaminya yang dipeluk. Kok, malah Mbak," protesnya. Namun, dia langsung membalas pelukanku. "Selamat, ya, Ra. Sekarang kamu udah jadi istri orang. Harus nambah berpikir dewasa, ya."

Mbak Herra melepaskan pelukan. "Ayo sekarang temui suamimu. Dia udah nunggu," katanya.

Ya Allah, aku sudah memiliki suami sekarang. Mengucapkannya dalam hati saja aku malu, apalagi bila nanti mengucapkannya secara langsung. Atau bahkan mengatakan kepada orang lain bahwa aku sudah bersuami dan Mas Hasbilah suamiku. Aku masih malu. Ini perubahan yang jauh lebih besar dari memakai jilbab.

Dengan digandeng Mbak Herra dan Ratih, aku menghampiri Mas Hasbi. Sontak semua orang yang hadir langsung berdiri termasuk Mas Hasbi dan Ayah. Aku berdiri di depannya. Dia tinggi sekali. Membuatku mendongak saat memandangnya. Aku kembali menunduk saat mata kami bertemu tatap. Rasanya malu sekali menjadi pusat perhatian dari orang-orang yang hadir. Ini rasanya seperti apa, sih? Nano-nano.

Tiba-tiba Mbak Nara mencolek tanganku lalu berbisik, "Hasbinya disalamin, aneh. Bukan malahan jadi patung."

Benar juga. Sebentar, aku menengok ke kanan dan kiri. Kulihat sebagian orang seperti menertawakan sesuatu. Apa mereka menertawakanku yang hanya diam saja? Aku mendongak lagi untuk melihat Mas Hasbi. "Salim ya?" tanyaku, canggung.

Ya jelaslah, Nura, ngapain harus nanya. Kuraih tangan pria tinggi itu lalu menciumnya. Aku tahu Mas Hasbi juga grogi. Buktinya tangan dia dingin.

Sumpah, walaupun dari dulu tidak berhijab, tapi aku menjaga untuk tidak bersentuhan dengan laki-laki. Karena Ayah melarang. Lantas sekarang dengan beraninya tanganku memegang tangan laki-laki terlebih dahulu? Untung dia sudah mahram untukku.

Mas Hasbi menyentuh pucuk kepalaku seraya berdoa. Kuamini panjatan doanya yang ditujukan untukku. Semoga dia mendapatkan kebaikan dariku dan terhindar dari keburukanku. Dan apa sekarang, dia mencium keningku. Di depan orang banyak? Aku malu. Pipiku pasti sudah memerah. Kini, aku sudah jadi istri? Statusku berubah?

~~~•~~~

 


Dan jangan lupa vote dan komen. Biar nambah semangat nulisnya.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang