48. Tatapan Sedu ✓

56 6 0
                                    

Nura

Priaku tidak bisa sarapan di rumah. Sore nanti dia harus sampai di Jogja. Semuanya sudah siap. Koper sudah ia masukkan ke dalam bagasi mobil.

"Bener kamu mau pergi sekarang, Bi? Enggak kasihan kamu sama Nura?" tanya Eyang.

"Mau gimana lagi, Eyang. Aku pamit, ya. Jaga diri Eyang. Kalau Eyang sampe sakit selama aku pergi, aku bakal salahin Nura."

Mataku membola.

"Hush, ngawur. Nura sudah menjaga Eyang lebih dari Eyang menjaga diri Eyang sendiri."

Alhamdulillah, Eyang membelaku.

"Hati-hati, ya. Enggak usah ngebut-ngebut. Lagi musim hujan jalanannya licin," titah Eyang penuh perhatian.

Mas Hasbi mengangguk lalu mencium tangannya. Tak lupa Eyang mencium kedua pipi Mas Hasbi.

Pria itu beralih kepadaku. Aku mencium tangannya. Lantas dia mencium kedua pipiku lalu mencium keningku. "Hati-hati, ya," ujarku.

Dia membelai pucuk kepalaku yang tertutup jilbab. Dia menyalakan mesin mobil dan mulai menjalankannya. Berlalulah Mas Hasbi meninggalkan halaman rumah.

"Eyang entar mau menghadiri pernikahan anaknya Bunda Jannah?" tanyaku.

"Kayanya Eyang enggak bisa hadir, Ra. Rasanya badan Eyang pegel-pegel," katanya.

"Eyang enggak enak badan?" khawatirku.

"Pegel-pegel doang. Eyang mau istirahat saja. Nura enggak usah khawatir."

"Ya udah, deh, Nura entar bilang Ratih kalo Nura enggak bisa ke acara nikahan Panji."

"Jangan, Nura harus hadir ke nikahan temen Nura. Enggak enak, masa temenan bertahun-tahun enggak bisa hadir di acara nikahannya. Eyang cuma butuh istirahat, nanti siangan juga enakan badanya."

"Ya udah Nura buatin wedang jahe, ya, buat Eyang. Sekarang Eyang istirahat. Entar Nura anterin wedang jahenya ke kamar," tawarku.

Eyang mengangguk dan masuk ke kamar.

~~~•~~~

Terdengar ketukan pintu serta salam dari luar kamar.

"Ratih, ya?" tebakku, setelah sebelumnya menjawab salamnya.

Aku sudah mengirim Ratih SMS. Kalau sudah sampai di rumah, dia bisa langsung ke kamar. Sengaja pintu rumah tidak dikunci, agar aku tidak perlu naik-turun tangga untuk membukakan pintu saat dia datang.

Aku membuka pintu kamar untuk mempersilakannya masuk. Tari baru saja selesai salat Dhuha, belum sempat membuka mukena.

"Kangen," selorohnya langsung memelukku.

"Kangen juga." Aku membalas pelukannya.

"Ternyata begini bentuk kamar pasangan halal." Dia duduk di atas kasur. "AC-nya sengaja didinginin, ya, Ra? Biar pengen pelukan terus gitu. Kan anget-anget gimana gitu." Dia mengerlingkan matanya.

"Pikirannya ngeres." Aku melipat mukena. "Belum salat Dhuha, ya?"

"Belum." Dia meringis.

"Pantesan ngomongnya ngawur. Sana salat dulu. Sekalian Nura mau siap-siap dulu," titahku.

"Siap tuan rumah." Dia melepaskan jilbab serta kaus kakinya dan berjalan santai ke kamar mandi.

Karena Mas Hasbi tak bisa menemaniku mendatangi acara pernikahan Panji, makanya aku meminta Ratih untuk menemani. Untungnya sahabatku itu bersedia.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang