25. Perkara Kayu yang Tumbang ✓

39 5 0
                                    


Nura

Bubur yang kubuat sudah dingin. Sama sekali belum dimakan apalagi disentuh. Masih utuh. Pasienku itu malah tidur lagi. Aku harus bergegas bangun dan mandi. Bisa-bisa kesiangan salat Dhuha. Belum lagi membersihkan rumah, masih punya cucian kotor. Piring di wastafel belum di cuci. Bungaku juga belum disiram. Aku terkekeh. Dasar otak emak-emak. Semuanya dipikirkan.

Semua pekerjaan rumah sudah aku selesaikan. Hingga siang hari ini kondisi terkini pasienku, alias Mas Hasbi sudah berangsur membaik. Namun tetap, dia masih harus istirahat. Lebih tepatnya dia memang mau memuaskan diri istirahat seharian. Demamnya memang sudah hilang tapi manjanya tidak hilang-hilang. Setelah salat Zuhur dan makan  siang  dia tidur lagi.

Tadi Eyang bilang mau menemaniku memasak gudeg, makanan khas Jogja. Pernah sekali aku memasaknya bersama Ibu, tapi itu sudah lama. Jadi, sekarang aku mau memasaknya live dengan orang Jogjanya asli. Karena memang Eyang orang Jogja.

Tapi sebelum itu, aku mau ke minimarket dulu membeli bahan-bahan untuk membuat brownies. Karena Mas Hasbi tidak suka merokok, jadi dia beralih ke suka makan. Memang biasanya begitu setelah kuamati. Seorang perokok pasti jarang ngemil, sebaliknya, jika bukan perokok pasti suka ngemil.

Eyang terganggu dengan suara kakiku saat menuruni tangga. Kegiatan membacanya dihentikannya sejenak. Dia sedikit menurunkan kacamata bacanya.

"Nura mau ke mana?" tanya Eyang. Mungkin dia melihatku membawa tas selempang, jadi menebak kalau aku mau keluar rumah.

"Mau ke mini market sebentar, Eyang. Mau beli telur sama beli bahan-bahan buat bikin brownies," jelasku.

"Enggak diantar Hasbi?"

"Mas Hasbi lagi tidur, Eyang. Lagian kasihan, dia kan harus istirahat," kataku.

"Mau naik motor? Masih ada, kan, motor Ayunda di bagasi?" Ayunda itu sepupu Mas Hasbi. Dia meninggalkan motornya di sini karena saat dia bermain ke sini turun hujan. Jadi, pulangnya naik taksi.

"Nura enggak bisa naik motor." Aku meringis. "Nura pamit, Eyang. Assalamualaikum." Aku mencium tangannya.

Aku melenggang keluar setelah Eyang menjawab salamku dan kuputuskan kali ini naik angkot. Pilihan berbelanja terputuskan di toko kelontong. Di toko serba ada itu, aku bisa sekalian membeli sayur. Pemilik tokonya juga ramah dan dia salah satu donatur panti asuhan milik Eyang.

Benar kata Ayah, kebaikan Eyang bukan hanya menyisakan uangnya untuk ia sumbangkan di rumah kanker saja. Tapi Eyang dengan sahabatnya, yaitu ibu dari pemilik toko ini membangun panti asuhan. Sungguh wanita-wanita dermawan yang patut dicontoh.

Apa lagi yang belum kubeli, ya? Telur sudah, tepung sudah, cokelat sudah, bahan-bahan untuk brownies sudah lengkap.

Beli minum ah.

Buuuk!

"Awww."

Suara orang mengaduh? Laki-laki? Sepertinya dekat.

Waw. Ternyata pintu showcase menabrak badan orang. Bukan-bukan, tapi orang itu yang menabrak pintu showcase. Aduh! Nyatanya aku yang tidak melihat kalau ada orang di dekat sini dan asal membuka lemari es berpenutup kaca itu.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang