65. Takdir Lain ✓

45 5 0
                                    

Panji

"Kalo lagi kurang enak badan, jangan dipaksain, Din. Ke rumah Nuranya bisa besok, kan?" Aku duduk di pinggiran kasur sambil memegang kening Dina untuk memeriksa suhu tubuhnya, panas ataukah tidak.

"Aku lagi sakit kepala, Kak. Bukan demam," kata Dina di antara helaan napas beratnya. Aku nyengir, sudah tiga kali bertindak bodoh seperti halnya sekarang. Tadi saat dia tidur lima belas menit setelah salat Zuhur, aku menyelimutinya sampai dia berkeringat kegerahan, tentu saja Dina terusik. Aku juga membuatkannya air jahe, dia kembali protes karena tidak merasa sedang masuk angin atau gangguan tenggorokan. Mungkin ini yang dinamakan buah simalakama, membingungkan. Lebih baik aku ikut merebahkan diri.

Al Quran itu sebagai petunjuk, sebagai pemisah, nasihat dan Al Quran sebagai obat. Ya obat, mungkin itulah yang sedang dipraktikkan oleh Dina. Mendengarkan murattal surat Al Isra—aku tahu surat itu—setidaknya hafalan suratku tak begitu buruk, di samping merebahkan diri. Dina adalah golongan orang anti obat kimia. Ketika disuruh minum obat, dia hanya menimpali dengan jawaban pamungkas, "Habis dibawa  tidur juga entar mendingan”, tapi bakal jadi calon perawat yang berurusan sama pasien dan obat.

Aku sebagai lelaki bisa apa? Memaksanya tetap minum obat sampai dia muntah? Sebenarnya perihal paksa-memaksa sudah menjadi kepribadian melekat kondisinya saat ini Dina sedang kedatangan tamu bulanan. Aku tidak mau berurusan dengan orang kalau sedang dalam masa puncak sensitifnya itu. Aku sampai hafal siklus menstruasi Bunda, karena hal itu  mudah tertebak dari sikapnya  yang bertolak belakang dari biasanya, dia akan sering diam. Untuk sikap Dina saat datang bulan, aku belum terlalu memahami. Sekarang dia sedang berbaring miring sambil sesekali memegangi perut. Di atas nakas masih setia melantun merdu murattal dari music box.

Dina membalik badannya yang tadinya membelakangiku, sekarang jadi menghadapku. "Besok, kan, Nura pasti nemenin Ratih, Kak. Lagian ini juga udah enakkan," kata Dina. Benar juga. Besok Ratih katanya menikah. Kenapa 'katanya'? Karena aku tidak diundang. Bersahabat dengan sahabatmu tidak selalu menjadi sahabatmu juga, kan? Aku tidak begitu dekat dengan Ratih, meski dulu kami sering bertemu saat main ke rumah Nura, tetapi kami jarang mengobrol.

"Ya udah entar bada Ashar jalannya. Sekarang istirahat lagi sini." Sekarang baru jam dua, masih ada satu setengah jam menuju waktu salat Ashar. Aku memindahkan kepalanya dari bantal ke lenganku, satu tangan yang lain kugunakan untuk mendekap bahunya. Kulihat pipinya memerah, pasti dia malu kuperlakukan seperti ini. Atau ... jangan-jangan Dina kepanasan? Aish, aku tidak bisa membedakan pipi merah karena tersipu atau sedang kegerahan. Payah.

"Kak, jangan ngeliatin terus. Aku malu." Kenapa dia bisa tahu kalau aku dari tadi memperhatikannya? Sepertinya selain Aji dan Jessica, Dina pun memiliki kemampuan supranatural, bisa tahu kegiatan orang tanpa harus melihatnya. Sengaja, aku semakin mengeratkan pelukan dan mencium rambut super lembutnya. Kata orang, tempat ternyaman dari seorang pria adalah ketiaknya—hal itu terbukti—selang sepuluh menit, Dina sudah bernapas teratur di dekapanku, menandakan kalau dia sudah tidur.

Hm, menjalani takdir kadang tak serumit yang dibayangkan. Kerumitan takdir yang lalu kurasa hasil dari diri sendiri yang terlalu mendramatisasi segala sesuatunya. Mau bagaimana lagi, aku digariskan menjadi pemeran antagonis di kisah hidup Nura. Sekuat apa pun menghindar, akan tetap ditarik untuk mendekat dan merusak segala suasanya yang ada padanya.

Kusibak beberapa helai surai yang menutupi wajah manis Dina, bulu mata lentiknya mengatup sempurna. Kadang ringisan akibat meluruhnya bakal telur di dinding rahim terlihat jelas di wajahnya. Beberapa kali kukecup keningnya, lalu kedua matanya, pipi halusnya dan ....

"Ehem ...."

"Astagfirullah hal'azim." Bagaimana Bunda bisa masuk? Seingatku pintu kamar sudah dikunci. Karena kaget dengan kedatangan Bunda yang bagaikan mengucap sim salabim lalu tiba-tiba ada di kamarku, aku menjauhkan kepalaku dari wajah dina. Lenganku yang digunakan sebagai tumpuan kepala Dina pun ikut bergeser dan membuat istriku itu terbangun.

Cara Mencintaimu ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora