38. Persiapan ✓

64 8 0
                                    


Nura

Aku sudah bertekat, nanti ketika di kereta tidak akan banyak tidur. Akan kunikmati perjalanan impian ini. Sudah sejak lama memimpikan bisa berlibur ke Jogja. Bahkan, saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Alasannya adalah ketika SMA dulu sekolahku mengadakan study tour ke Jogja. Namun sayangnya aku tidak bisa mengikutinya karena tepat sehari sebelum pemberangkatan malah sakit. Gagallah bisa ikut menyusuri kota pelajar itu. Bahkan aku pernah punya keinginan untuk kuliah di Jogja. Namun aku takut. Sesimpel itu alasannya. Berada jauh dari orang tua dan keluarga membuatku takut. Tidak mau sendiri.

Satu koper sudah diisi dengan beberapa helai pakaianku dan Mas Hasbi untuk beberapa hari di Jogja. Tidak banyak, karena kami akan menginap di rumah Bude Endah. Budenya Mas Hasbi, anak sulung Eyang sekaligus kakak dari ibu mertuaku. Di sana aku bisa mencuci pakaian biar tidak kebanyakan membawa ganti. Lagi pula, kami di Jogja kemungkinan hanya seminggu.

Aku juga memasukkan beberapa barang yang sekiranya diperlukan. Aku bukan tipe orang yang mabuk perjalanan, jadi tidak perlu membawa obat pencegah mual saat di kendaraan. Aku hanya tidak terlalu tahan dengan rasa dingin, jadi aku harus membawa minyak telon. Kenapa minyak telon bukan minyak kayu putih? Aku tidak suka bau minyak-minyakan sejenis itu. Sedangkan bau minyak telon tidak terlalu menyengat dan terkesan seperti bau khas bayi. Untuk alat salat, akan disimpan di ranselku begitu pun Mas Hasbi. Kita membawa ransel masing-masing.

Selesai.

Aku meresleting koper. Menepuknya pelan, aku masih dalam mode bahagia akan melakukan perjalanan jauh. Sudah dibayangkan indahnya Jogja serta ramah tamah masyarakatnya. Tadi malam iseng mencari-cari destinasi wisata di internet. Aku tertarik dengan satu tempat wisata, yaitu Sindu Kusuma Edupark. Taman bermain dengan bianglala besarnya. Aku tersenyum mengingat waktu masih kecil, pas SD.

"Ayo Nura," ajak lelaki berkaus ironman bercelana pendek. Dia tidak takut masuk angin memakai pakaian pendek di malam hari, apalagi ini di lapangan terbuka. Panji memang selalu dengan gaya khasnya kaus dan celana levis pendek. Tidak pernah mau memakai celana panjang dan tidak terlalu suka memakai kemeja.

Dia setengah memaksa. Aku menggeleng ketakutan, tapi Panji malah menarik tanganku untuk mengikutinya. Di keramaian seperti ini aku merasa takut. Bukan, bukan karena takut keramaian. Aku takut karena dipaksa Panji naik bianglala. Aku belum pernah naik wahana permainan seperti itu, apalagi harus berputar sampai ketinggian yang entah berapa meter dari tanah. Aku mendongak dan menelan saliva susah payah. Melihatnya saja sudah membuat bulu kudukku bergidik.

Kami sedang berada di pasar malam dengan berbagai macam barang atau makanan yang dijajakan. Permainannya juga banyak, ada bianglala, komedi putar, mandi bola, mobil-mobilan yang kami harus menyetir sendiri, perahu terbang. Melihat perahu terbang itu membuat kakiku gemetar, pasalnya setiap penumpang dibuat teriak seakan akan terlempar dari perahu. Ada juga wahana yang berbentuk lingkaran dan pada lingkaran itu terdapat tempat duduk penumpang lalu oleh pemiliknya akan di putar-putar naik turun. Katanya namanya ombak air, tapi tidak ada airnya. Aneh.

Pasar malam dengan banyak permainan seperti itu selain untuk hiburan masyarakat, juga sebagai alat jerat anak-anak agar merengek ke orang tuanya untuk sedikit mengeluarkan uangnya. Kemudian saat mereka melihat penjual barang atau makanan yang berjejer mereka akan tergiur juga.

Aku tetap dipaksa tanpa ampun. Tidak bisa mencari pembelaan karena Ayah dan Ibu tidak ikut. Kami ke sini bersama orang tua Panji, Mbak Nara dan Mbak Herra. Kedua kakakku sedang naik bianglala mendahului kami karena aku sedari tadi mogok menolak untuk naik. Namun, tetap saja dipaksa. Menyebalkan. Sedangkan orang tua Panji sedang membeli minuman dingin.

"Kaki Nura tiba-tiba kesemutan Panji. Nura tunggu di sini aja, ya. Panji naik sendiri," pintaku setengah memohon, kaki kesemutan hanya alasan.

"Pokoknya kamu harus coba." Dia menarik tanganku.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang