16. Bertambah Prajurit Penjagaku ✓

40 5 0
                                    


Nura

 

Pegal juga berdiri terus. Gaun akad sudah berganti dengan gaun resepsi. Hampir dua jam aku berdiri dan menyalami tamu undangan, padahal temanku tidak banyak, lebih banyak tamu undangan dari Mas Hasbi. Mulai dari teman sekolah, teman kuliah; teman bisnisn, mantan klien; guru mengaji, bahkan teman-teman pondoknya. Katanya dulu Mas Hasbi pernah mondok. Belum lagi acara foto-foto, semakin membuat lelah.

Dari banyaknya orang yang menyalami kami, aku belum melihat Panji. Aku juga baru sadar, ternyata tadi di acara akad nikah Panji juga tidak kelihatan. Kan, dia benar-benar jahat. Sahabat macam apa itu? Awas saja kalau nanti datang, akan kuberi pelajaran.

"Kamu capek, Ra?" tanya Mas Hasbi.

"Hah?" Aku berhenti dari acara celingak-celinguk. "Ah iya. Nura agak pegel. Kayanya Nura enggak cocok pake sepatu hak tinggi," kataku jujur.

Sebenarnya, aku tidak mau memakai sepatu ini. Jika bukan karena desakan Mbak Nara dan untuk menyeimbangkan tinggi dengan Mas Hasbi, aku lebih memilih memakai sepatu teplek. Pakai sepatu hak tinggi saja aku masih selehernya. Memang dasarnya aku pendek.

"Lepas aja, Nura. Nanti kaki kamu bisa lecet," ujarnya khawatir.

"Enggak apa-apa. Entar Nura keliatan pendek. Nura mau ngambil minum, ya." Aku diam sebentar. "Mas Hasbi mau?" Ragu-ragu aku memanggilnya dengan sebutan "Mas". Tidak ada laki-laki yang aku panggil dengan panggilan itu. Karena itu panggilan khusus untuk suamiku.

"Boleh," sambutnya diselingi senyum.

Susah payah aku berjalan dengan sepatu ini. Saat sampai  di meja minuman, aku melihat Bunda sedang bercengkerama dengan ibu-ibu tetangga. Lupakan rasa haus, sepertinya berita Panji jauh lebih penting.

"Bunda, Panji mana?" tanyaku.

"Tau tuh anak. Dia bilang datengnya agak telat. Pagi-pagi dia harus nemuin rektor buat nyerahin tesisnya," kata bunda.

Aku menahan bulir air mata yang memberontak ingin keluar. Ada rasa kecewa menyerang hati. Nura ... skripsinya juga penting. Aku harus berprasangka baik. Panji mengharapkan bisa wisuda tahun ini. Kami harus foto bersama, katanya. Agar aku merasakan suasana wisuda.

"Itu anaknya dateng," seru Bunda. Aku mengikuti arah pandangannya.

Panji menyadari keberadaan kami. Dia berjalan menghampiriku. Untuk acara sekelas pernikahan, dia salah kostum. Panji hanya memakai kemeja dengan celana jeans. Acara pakai tas segala. Dia pasti dari kampus langsung ke sini.

Pria itu langsung menyalami Bunda. "Bun, alhamdulillah, aku bisa sidang hari Senin depan," kata Panji.

"Alhamdulillah," ujar Bunda.

"Panji sidang seminggu lagi?" tanyaku.

Panji menengok ke arahku. "Norak, Kamu lagi ikut karnavalan?"

"Panji! Nura lagi jadi pengantin," kataku kesal. Dia tidak mengucapkan selamat malah mengataiku.

"Oh iya, ya. Kamu enggak kelihatan jadi pengantin. Lagian kamu enggak cocok didandanin kaya gitu. Udah biasa buluk," cerca Panji.

"Bunda, Panji rese," aduku.

"Jangan dong, Panji. Cantik-cantik gini, kok," Bunda membelaku.

"Kamu belum kasih selamat ke Nura. Sahabat macam apa kamu. Nura nikah malahan enggak dateng." Bibir sengaja kumaju-majukan.

"Selamat. Ini aku dateng," tandasnya. Hanya kata selamat saja. Apa dia tidak mau mendoakan aku.

"Telat. Harusnya panji nyaksiin akad nikah tadi pagi," omelku. "Ayo kasih selamat juga ke Mas Hasbi," ajakku.

Cara Mencintaimu ✓Where stories live. Discover now