66. Hancur ✓

45 7 0
                                    


Panji

Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'in.

Penggalan surat Al Fatihah itu aku ulang tanpa hitungan dengan bibir yang masih gemetar. Ada yang pernah merasakan tenggelam di laut sedalam puluhan meter sedangkan sebelumnya kau mengatakan telah mahir berenang? Bodoh, konyol, ataukah sombong orang seperti itu?

Mengambil keputusan yang salah adalah kecerobohan dan penyesalan atas keputusan adalah kebodohan. Aku mengakui telah ceroboh dalam bertindak. Namun, bodoh bila harus menyesali apa yang telah terjadi. Semuanya sudah terlanjur dan waktu tidak bisa diputar ulang.

Hancur? Pasti. Itu yang kurasakan detik ini. Melihat orang yang disayangi terkapar oleh ulahmu dan kau sendiri baik-baik saja ... bagai kau akan dipecut cemeti karena segala kesalahan yang telah kau lakukan, tetapi cemeti itu meleset kepada orang lain, orang yang penting dalam hidupmu. Sakit tak kau rasakan di badan, tetapi di kelenjar terbesar dalam tubuh yang berwarna merah yaitu hati.

Tanganku masih gemetar melihat kondisi Dina saat ini dan bayang-bayang kejadian beberapa saat lalu. Argh! Nyeri rasanya kalau harus mengingatnya lagi.

Bila aku mengisahkan kembali apa yang kualami, menurut kalian, aku masuk dalam kriteria yang mana? Bodoh, konyol, atau sombong? Atau lebih pantas diumpat sebagai pecundang? Apa pun anggapan orang, aku akan menerimanya.

Malapetaka benar-benar mengintaiku. Sehebat apa pun dalam berkendara, aku tidak bisa menghindari semuanya. Terutama qadarullah. Rem seakan mati fungsi, dan kalaupun bisa ... itu sudah percuma mengingat jarak motorku dengan mobil Honda Jazz berwarna merah itu sudah terlalu dekat. Aku mencoba membelokkan setang motor sedikit ke kiri untuk menghindari mobil, tapi ....

Aku terpental ke trotoar dan kepalaku membentur pembatas jalan. Hanya badanku saja yang merasakan sakit akibat berguling di aspal dan membentur pembatas jalan. Namun, kepalaku tidak begitu sakit, ternyata selain terlindungi helm, tasku ikut membantali kepala dari kerasnya aspal dan beton trotoar. Mataku mengedar untuk mencari sosok istriku. Dengan sekuat tenaga aku berusaha bangkit.

Tiba-tiba.

Bagai tersengat listrik bertenggangan ribuan volt, jatuh dari pesawat ribuan kaki di udara dan menghantam berbatuan berduri setajam jarum, mataku seperti dicolok besi panas menyaksikan apa yang terjadi di depan mataku. Dina terkapar di tengah jalan.

Ternyata tak sampai di situ saja semesta mengejutkanku. Bagai mesin waktu berputar begitu cepat, tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang, kurasa sopirnya tak tahu ada kecelakaan hingga tak sempat menginjak rem.

"Dina!" Teriakku. Teriakkan pun terdengar dari segala penjuru yang menyaksikan permainan tangan Tuhan itu.

Di depan mataku, mobil itu melindas kaki Dina. Jantungku seakan berhenti seketika. Sendiku seperti rontok dan tak mampu menumpu berat badanku. Aku jatuh tersungkur dengan pikiran berkecamuk. Tanpa sadar aku meninju aspal dan langsung lari menghampiri Dina sambil melepaskan helm lalu membantingnya.

Pengendara mobil Jazz membuka pintu belakang lalu menyuruhku memasukkan Dina ke dalam mobil yang kini penyok di bagian bumper depannya akibat hantaman motor dan pria itu pun membantuku membopong Dina.

Sebagian warga menghentikan mobil hitam yang berlakon mengerikan itu. Aku tidak ada waktu untuk marah atau menuntutnya. Kini prioritasku hanya Dina.

Dengan tangan gemetar, aku memangku kepala Dina yang sebelumnya sudah kulepas helmnya. Ya Allah, dia tidak bangun-bangun. Sudah beberapa kali dipanggil sampai air mataku menjatuhi pipinya, tetapi dia tak sadar juga.

"Din, bangun. Bangun, Sayang." Aku menggenggam tangan Dina yang tampak lecet di beberapa bagian. Ya Allah, apa yang telah aku lakukan padanya?

Mengapa sekarang waktu berjalan begitu lambat? Ke mana pemilik mobil ini?! Kenapa dia malah pergi? Dina harus segera dibawa ke rumah sakit.

Cara Mencintaimu ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang