4

5K 370 14
                                    

Devina pov

Aku dan kakak kelas sok tau sedang berada diruang kepala sekolah.
Aku masih ber-akting kesakitan.
Padahal luka tusukan ini sangat lembut bagiku.

Dia menatapku penuh benci.
Oh sekarang salahku apa? Aku kan hanya gadis polos.

Amira terang-terangan membelaku didepan kepala sekolah. Juga wali kelas kami. Aduh sahabatku ini manis sekali, kasihan tapi karena dia membela orang yang salah.

Haha becanda dong!
Aku tidak merasa kasihan sama sekali padanya. Cih.

"Baiklah, Ken, kamu saya hukum tentu saja. Kamu harus minta maaf pada Devina."

Oh namanya Ken ternyata..
Kuno sekali...

"Maafkan aku." ucapnya dengan tatapan benci.

Oh, oh, aku suka sekali tatapn seperti itu. Tatapan penuh amarah.

"Iya." jawabku pura pura tersenyum.

Aku ini pandai ya jadi aktris? Pintar bentul kalau bersandiwara.

Amira menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Tentu saja kutolak dengan halus.

Amira kan cengeng.. Mana bisa kubentak...

Oh rupanya si Ken sialan itu masih dendam padaku. Ia mengikutiku yang berjalan pulang sendiri.

Dasar polos. Dikira aku tidak tau kalau dia mengikuti? Aku ini sudah terlatih. Instingku tajam haha.

Sengaja aku berbelok belok gang agar dia semakin bingung. Mampus.

"Hayo kamu ngikutin aku pasti." bisikku dibelakangnya.

Ia menoleh dengan kaget karena aku tiba-tiba berdiri dibelakangnya.

"Siapa kau sebenarnya?!" tanya dia geram.

Kupasang tampang bingung,
"Aku manusia. Namaku Devina. Kita sudah kenalan loh tadi di ruang kepsek."

"Mengaku saja kalau kau pembunuhnya!"

"Pembunuh apa sih? Kamu bahas itu melulu. Bosen aku." jawabku malas.

"Dimana kau menyembunyikan mayat-mayat itu?!" bentaknya.

"Oh, oh, aku tidak suka dibentak. Kamu mau jadi mayat juga?" jawabku mengeluarkan benda tipis mengkilat.

Pisau.

Dia mundur ketakutan. Halah baru segini aja udah ciut nyalinya.
Cowok apa bukan.

"Kenapa sih, kakak kelasku? Kenapa kamu memandangku penuh benci begitu?" tanyaku dengan tampang sok sedih.

Topengku memang sangat bagus.

"Pembunuh...pembunuh..." gumam dia pelan.

"Kamu jahat banget. Padahal aku suka lengan mu yang kekar."

"Rasanya ingin kupotong dan kumasak! Hahaha!!" tawaku menggila.

Dia lari menjauh. Kencang sekali.

Padahal aku tidak serius mengatakan itu tadi. Maksudku yang bagian memasak itu.
Mana doyan aku daging manusia.
Aku bukan kanibal.

Aku lebih suka paha ayam.

Sweet Psycho[END]Where stories live. Discover now