BTS #5: Gaya Hidup Minimalis Demi Kebahagiaan yang Lebih Maksimal

33 6 10
                                    

Behind The Scene #5: Gaya Hidup Minimalis Demi Kebahagiaan yang Lebih Maksimal

Bismillah.... 

Sebenarnya masih banyak yang ingin kutulis soal pandangan Erich Fromm dan para ahli lain soal cinta untuk meneruskan "seri artikel Agar Cinta Tak Cipta Derita" yang kumulai sejak artikel ketigaku yang berjudul: Salah Kaprah dalam Memahami Cinta. Tapi demi mengejar prasyarat lima artikel di bulan Maret untuk mempertahankan kursi studi di RAWS Community, lebih baik aku manfaatkan sumber yang sudah ada dulu, deh. 

Artikel ini kuambil dari review di akun Goodreads-ku sendiri (dengan sedikit tambahan) untuk buku Goodbye, Things: Hidup Minimalis ala Orang Jepang karya Fumio Sasaki, yang versi terjemahan bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama pada 19 November 2018. Ulasan ini kupublikasikan melalui Goodreads pada tanggal 16 Desember 2019.

Boleh dibilang pembahasan dalam buku ini masih bisa disambungkan ke masalah "cara menangani obsesi dan cinta yang berlebihan" yang jadi tujuanku saat memulai seri artikel Agar Cinta Tak Cipta Derita. Hanya saja di sini "cinta" yang dimaksud lebih ke cinta pada barang-barang material yang dimiliki (benda mati). Namun, jika sudah selesai membaca buku ini, kita akan menemukan bahwa konsep ini tak hanya berkaitan dengan seni membereskan barang yang sudah menumpuk. Gaya hidup minimalis sejatinya juga memiliki implikasi mendalam pada kondisi spiritual kita. Nah, mari langsung kita mulai saja pembahasannya.

***

Danshari adalah seni membuang, membereskan, dan berpisah dengan barang-barang kita

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Danshari adalah seni membuang, membereskan, dan berpisah dengan barang-barang kita. Tampaknya ini juga yang sedang berusaha dipopulerkan oleh Marie Kondo dan para pendukungnya. Mereka yang mempraktikkan konsep tidak menyimpan dan membuang barang yang sudah tidak diperlukan atau "doesn't spark any joy at all" dalam buku ini disebut "para minimalis. Tapi minimalisme tidak hanya sekadar membuang barang agar rumah jadi lebih lapang dan rapi saja.

Namun, ketika berdiskusi dengan temanku, ia berkata ada perbedaan aliran antara decluttering-nya Marie Kondo dengan minimalist-life style-nya Fumio Sasaki. Menurut temanku yang sudah menonton video tentang para minimalis di Youtube ini, pasca membuang barang, penganut gaya hidup minimalis akan melakukan restricted buy alias membatasi pembelian barang baru atau bahkan tidak membeli barang baru lagi sama sekali. Sedangkan Marie Kondo hanya membantu merapikan dan mengorganisir penyimpanan barang. Klien diperbolehkan membeli barang lagi sesukanya (asalkan barang itu memang diperlukan dan spark the joy, serta bisa disimpan dengan rapi). Setelah "masa genting" seleksi bulan Maret di RAWS Batch 2 ini usai, insyaallah aku akan mencari video yang dimaksud dan mendalami konsep ini lebih rinci agar bisa menuangkannya dalam artikel (jika memang dibutuhkan).

Fumio Sasaki menulis dalam bukunya, "Menurut saya minimalis adalah orang yang bisa membedakan antara kebutuhan dan keinginan, serta tidak takut mengurangi barang yang berupa keinginan. Keinginan untuk menampilkan citra tertentu (2018:15) (...) Minimalisme adalah upaya untuk memangkas hal-hal yang tidak esensial agar kita bisa sepenuhnya menghargai hal yang benar-benar berharga dalam hidup kita (2018:16).

RISET Harukaze no Sekai - The World of HarukazeWhere stories live. Discover now