BTS #11: Wabi-Sabi Bukan Wasabi [Fitur Unik dalam Karya Sastra Jepang #5]

26 1 27
                                    

Behind The Scene #11: Wabi-Sabi Bukan Wasabi [Fitur Unik yang Hanya Ada Pada Karya Sastra Jepang #5]

Meski sekilas terdengar mirip, wabi-sabi sama sekali tidak ada hubungannya dengan wasabi yang bisa membuat lidah menjerit karena sensasi pedas berapi-api.

Wabi - Sabi adalah nilai penting dalam kesusastraan Jepang yang banyak juga diterapkan pada karya seni lain seperti sado (upacara minum teh), shodo (seni kaligrafi Jepang), dan kado (seni merangkai buka atau ikebana). Jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris, "wabi" menjadi "quite elegance" sedangkan "sabi" menjadi "elegant simplicity". Namun, itu saja tidak cukup dalam merepresentasikan filosofi wabi dan sabi. Sebagaimana simplicity tidak cukup untuk menggambarkan kosakata bahasa Jepang seperti "soboku" (sederhana dan orisinil), "kuhaku" (kekosongan; kehampaan), dan "shisho" (sederhana; rendah hati).

Wabi bisa berarti emosi yang lahir dari kekurangan harta dan keadaan yang tidak diinginkan. Wabi juga dikaitkan dengan jenis kesepian dan kesendirian yang mirip dengan apa yang dirasakan pertapa di wilayah terpencil. Wabi sangat diagungkan sebagai ideologi sastra dalam upacara teh (chanoyu). Juko, seorang tokoh chanoyu mengatakan bahwa chanoyu adalah dasar dari keindahan wabicha. Sejak saat itu wabi dan sabi berkembang dan dapat dilihat sebagai sesuatu yang indah.

Ocha (teh) panas yang dituangkan ke mangkuk teh hingga nyaris tumpah di mata orang Jepang merefleksikan pemandangan yang kurang menyenangkan. Akan tetapi ocha panas khas Jepang yang tersaji di cangkir setengah penuh, di mata orang Indonesia justru mencerminkan kekikiran. Hidangan pendamping minum teh ala Jepang dihidangkan secara artistik dalam jumlah sedikit di atas piring yang besar. Mungkin ini akan dianggap pelit oleh orang negara lain. Tapi bagi orang Jepang, tidak ada keindahan yang melebihi keindahan yang kosong dan hampa.

Sabi berarti sepi dan tenang dan arti dalam kehidupan manusia ialah ketenangan yang ingin dicapai oleh orang-orang yang sudah meninggalkan kehidupan dan hal-hal keduniawian. Dasar pemikiran ideologi sabi adalah ketenangan dan kesepian yang diungkapkan dalam bidang kesenian. Sabi juga berhubungan dengan sesuatu yang ternoda atau berkarat–tanda-tanda perkembangan alamiah.

Spirit wabi dan sabi hidup dalam panggung Noh, haiku (yang merupakan puisi terpendek di dunia), dan karya lain. Dari ruang yang sangat sempit dan terbatas, kita dapat melihat makna yang sangat luas. Dalam aspek ini tersembunyi ciri khas kesusastraan Jepang yang istimewa.

Sejak abad ke-14, kesepian dan kesendirian tidak lagi dianggap sebagai hal yang jelek, melainkan sesuatu yang bisa membuat kita bebas dan lebih bijak. Sedangkan ketidaksempurnaan yang dihasilkan dari perkembangan alami kehidupan, harus dirangkul sebagai pengingat akan ketidakabadian. Wabi sabi sering juga dikaitkan dengan rasa damai dalam melihat perubahan alami kehidupan. Menerima fakta bahwa hidup dan hal-hal yang ada di dunia ini tidak kekal, memungkinkan kita untuk lebih menghargai keindahannya. Filosofi wabi-sabi sendiri juga sering dilukiskan sebagai cara untuk menemukan keindahan di balik ketidaksempurnaan. Hal ini berkaitan dengan ketidakkekalan dan ketidaksempurnaan dalam hidup.

Richard Powell, pengarang buku Wabi Sabi Simple, menuliskan bahwa wabi-sabi mengajarkan tiga realitas sederhana: bahwa dalam hidup ada hal-hal yang tidak dapat bertahan, tidak selesai, dan tidak ada yang sempurna.

Misalnya, seorang nenek berusia 100 tahun yang tampak keriput dan mungkin terlihat agak menakutkan saking tuanya. Dengan menerapkan wabi-sabi, kita berusaha melihat keindahan dalam ketidaksempurnaan sang nenek akibat pengaruh usia. Kita juga bisa melihat nenek itu sebagai seorang perempuan yang sudah melalui banyak hal demi bisa bertahan hidup, dan karenanya menyimpan kebijaksanaan yang bisa dikulik jika kita mau mengobrol dengan sopan bersamanya.

RISET Harukaze no Sekai - The World of HarukazeWhere stories live. Discover now