Dua Simpangan yang Sengaja di Tuntun Menuju Pertemuan

756 111 397
                                    

kita kehilangan
kita adalah rindu
kita terkenang
aku,
kamu

lalu, senja berbisik
katanya,
aku dan kamu,
akan segera bertemu









Padahal masih pagi. Akan tetapi, semesta sudah merencanakan sebuah kekesalan untuknya. Zara tidak tahu jika nyatanya akan semerepotkan ini. Tahu begitu, lebih baik ia biarkan saja orang itu kelaparan. Lagi pula, itu bukan kesalahannya. Sial.

Dima adalah manusia yang banyak bicara. Mengganggu saja. Zara tidak terlalu menyukainya. Setelah ini, ia tidak boleh lagi berurusan dengannya. Bisa-bisa semesta yang susah payah ia ciptakan hancur begitu saja karena orang ini.

"Zara, ini nasi kuningnya enak banget. Aku nggak tahu kalau di sini ada warung nasi kuning sebelumnya."

"Hmm."

"Kamu pasti sering datang ke sini, ya, sebelumnya?"

"Hmm."

"Andai aku tidak sengaja nyenggol bahu kamu tadi, mungkin aku tidak akan pernah tahu."

"Hmm."

"Terus-terus, ini adalah pertama kalinya aku dijajanin sama perempuan. Jadi senang, deh, aku."

"Terus?"

"Terus gimana?" tanya Dima setelah menyuapkan sesendok nasi. "Ah, kamu masih mau dengar aku berbicara?"

"Terus apa hubungannya sama gue? Lo berisik tahu nggak, sih?"

"Haha, kamu galak ternyata."

Zara tidak suka dengan Dima yang terlihat santai dan sok dekat. Ia kira, dengan sikap tidak ramah miliknya Dima akan pergi, atau paling tidak merasa tidak nyaman, atau apa pun itu. Namun, laki-laki itu malah tertawa. Seperti sedang mengejeknya.

"Ah ... resek banget sih, lo!" ucap Zara membawa dirinya berdiri, kesal. Lalu ia mengeluarkan selembar uang pecahan 50 ribu rupiah dari dompet dan meletakkannya di atas meja. "Lo yang bayarin."

"Emangnya kamu mau ke mana, Zara?" tanya Dima.

"Bukan urusan lo, sih."

"Tapi itu nasi kuningnya belum habis. Kan, sayang."

"Ya udah. Lo aja yang habisin."

Zara tidak peduli. Meskipun perutnya tidak benar-benar kenyang, ia akan tetap pergi. Biar sajalah laki-laki itu sendiri. Hanya saja, di belakangnya Dima tersenyum .

"Bu, Mbak yang tadi memang suka marah-marah, ya?" tanya Dima.

"Kenapa, Mas?"

"Panggil Dima saja, Bu ...." Ia menjeda sebentar sambil menunjuk punggung perempuan mungil itu yang masih terlihat dari tempatnya. "Itu, Bu. Perempuan yang tadi makan denganku."

"Oh, Zara?"

"Iya, Bu."

"Tidak, Dima. Zara baik, kok. Kalau sama Ibu dia tidak suka marah-marah. Mungkin cuma sama kamu?"

"Kok bisa begitu, Bu? Nggak adil, dong."

"Mana Ibu tahu, Dima. Mungkin kamu belum mengenalnya saja?"

"Apa aku harus mengenalnya, Bu?"

"Tentu saja. Kenapa tidak?"

"Hmm ...." Dima terlihat berpikir sebentar. "Baiklah kalau begitu. Dima pamit dulu ya, Bu. Ini uangnya Dima simpan di atas meja."

Baiklah. Semesta, kamu harus segera bersiap-siap. Dengan buku dan pena yang baru, kamu harus segera mengenang. Sebuah perjalanan yang entah akan seperti apa nantinya, kamu harus selalu tahu. Jika nanti manusia ini lupa, biar senja yang datang dan berbisik kepadanya. Jika kenangan yang mati itu sudah siap untuk kembali hidup di dalam sebuah senyum seorang manusia dan harapannya.

***

Begini, mustahil sepertinya manusia untuk mengenal manusia lain seutuhnya. Bahkan untuk tahu siapa dirinya sendiri manusia selalu saja kehilangan arah. Pun, hati memiliki rahasianya sendiri yang ia sembunyikan dari tuannya.

Padahal sudah nyaris satu bulan Dima menjadi mahasiswa di universitas ini, tetapi ia tidak pernah bisa merasa nyaman dengan orang-orang yang ada di kelasnya. Tidak tahu saja. Apakah ini memang masalah waktu, atau memang bukan seperti itu. Namun, ya sudahlah. Mau bagaimana lagi.

Sepanjang mata kuliah kali ini, tidak Dima perhatikan benar-benar. Tangannya sibuk bergerak. Hanya saja ia tidak menulis, yang Dima lakukan cuma menggores asal di atas kertas dengan pena miliknya. Saling timpang tindih, membentuk sebuah harmoni yang syahdu.

"Wih ... gambar lo bagus juga, ya."

"Eh, kenapa?"

"Gambar lo bagus, elah. Gue muji lo."

"Oh, ini?" Dima menunjuk gambarnya. "Biasa aja. Asal gambar gue."

"Hmm ...." Hardi, laki-laki itu menggumam. "Ayo, cuy. Kelas kita udah selesai. Ruangannya mau dipakai kelas sebelah."

"Lah, udah selesai?" tanya Dima.

"Lo, sih. Keasyikan gambar sampai lupa waktu."

"Ah, iya."

Hardi berjalan telebih dahulu sedang Dima mengikuti dari belakang terburu-buru membereskan barang bawannya. Padahal hanya memasukkan satu buku dan pena ke dalam tasnya.

"Di, entar bantuin gue jelasain materi tadilah. Gue kagak merhatiin sama sekali tuh mata kuliah satu. Males," ujar Dima.

"Ya udah, sih, santai aja. Entar gue bantuin."

"Terbaik, emang. Gue kira, lo orangnya kayak anak baik-baik kutu buku berkacamata yang anti sosial gitu."

"Nggak, kok. Cuma tampilan gue aja yang kayak gitu. Lagian, lo juga sih yang kagak mau tahu. Dan, ya, gue juga jarang lihat lo di kelas. Kenapa?"

"Ah, itu. Gue lebih suka keluyuran sendiri, sih. Cari cewek-cewek bening. Cari ayam-ayam kampus," ucap Dima seraya tertawa kecil.

"Dasar, sialan emang."

Dima lihat, untuk ukuran laki-laki bergaya formal seperti Hardi, orang itu cukup santai daripada penampilannya. Semesta, ia memang tidak pernah bisa mengenal manusia. Lalu ketika ia hendak keluar dari gedung fakultas, matanya melihat seorang gadis yang kemarin suka sekali marah-marah.

"Bro! Gue jalan duluan, ya," tegur Dima.

"Mau ke mana, lo?"

"Gue ada perlu."

"Oh, oke."

Dima tersenyum, lalu berjalan meninggalkan Hardi. Ia diam-diam saja. Mengikuti ke mana Zara akan melangkah pergi, dan setelah ia ikuti, ternyata Zara hanya duduk di sebuah bangku taman di depan kampus di pinggir jalan.

Dima berdiri tidak jauh dari tempat Zara duduk menghadap jalan raya. Seolah-olah, ia memang terlihat seperti manusia yang sedang benar-benar menunggu waktu untuk menyeberang. Padahal tidak.

Ia hanya sedang memikirkan bagaimana caranya agar perhatian gadis itu bisa teralih kepadanya. Dima hanya cemburu saja kepada cakrawala. Gadis itu terus saja memandanginya. Benar-benar membosankan.

Sampai di dalam kepalanya terlintas sebuah kamuflase yang menyenangkan, Dima tersenyum. Ia merobek bagian bawah tas sampir yang memang sudah sedikit ia longgarkan jahitannya, lalu ia menyeberang membiarkan apa pun yang ada di dalam tasnya terjatuh begitu saja di tempat semula ia berdiri.

"Hmm?" Zara mengalihkan pandangannya, lalu mendengkus.

Hope you enjooooooy
See you soon, muach 😘

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang