Yang Perlahan Menemukan Kehilangan

274 54 314
                                    

kita
kata terasing
yang mulai terbiasa
menerima

bahwa kita
bisa tertawa
















"Too ... Ditoo ...."

"Apaan, sih, Ra? Hari ini lo jadi manja banget."

"Dima, To."

"Ya kenapa emangnya si Dima? Dima cowok buluk yang kemarin itu, kan?"

"Jewerin dia, To. Dia nakal."

"Hah, maksud lo?" Kali ini Dito bertanya terkejut. "Emangnya apa yang udah si Dima lakuin ke lo?"

Zara mengembuskan napas panjang. Perjalanan waktu kalau perasaan sedang kacau seperti terasa beribu-ribu kali lebih panjang. Serangkaian peristiwa tak terduga itu selalu muncul begitu saja dengan ringannya dari kepala Zara. Hari ini Zara mengajak Dito untuk sarapan di kantin kampus.

"Ini nggak kayak yang lo duga, To."

"Dih, dasar wanita. Kalau cerita emang suka nggak jelas."

"Atuhlah ... To ...."

"Apaan sih, Ra? Tahulah. Mending ke kelas aja gue."

Sayangnya tidak kepada orang selain Dito, Zara bisa bersifat manja seperti ini. Bahkan untuk ayahnya sekalipun. Hanya saja, sudah terlanjur malas, pada akhirnya Dito pergi meninggalkan Zara. Menurutnya, wanita lebih misterius daripada lautan sekalipun.

Zara melipat sebelah tangannya lalu menenggelamkan kepala di atasnya. Memangnya, kebebasan apa yang sedang aku cari ini? Kenapa Dima? Kenapa harus aku?

***

"Rupanya masih ada satu bidadari yang lupa jalan pulang."

"Dima?"

"Aku Dima."

Zara sedikit terkejut dengan kehadiran Dima. Ia kira, setelah peristiwa tadi pagi, laki-laki itu setidaknya akan menghilang selama beberapa hari. Akan tetapi, kedatangannya kali ini terasa seperti Dima yang ia kenal. Bukan Dima yang tadi pagi.

"Kenapa belum pulang? Ini sudah hampir malam."

"Aku sedang tidak mau pulang."

"Kenapa?"

"Karena aku tidak mau dipenjara lagi, Dima."

"Penjara itu untuk orang-orang yang jahat, Zara. Memangnya kamu sudah berbuat apa sampai harus pulang ke penjara?"

"Bukan itu maksud aku. Di sana pasti sedang ada orang jahat yang sedang menunggu kepulangan buat memenjarakan aku."

"Kalau begitu, mau pulang ke tempatku?"

"Hah, maksud kamu?" tanya Zara.

"Mungkin di sana kamu bisa mendapatkan kebebasan yang sedang kamu cari?"

"Apa kamu serius mau mengajakku?"

Dima tersenyum. "Sudah kubilang, kalau kamu memiliki cinta dan kasih sayang yang cukup buat aku dan diriku, apa pun maumu, tidak masalah."

"Kalau gitu, aku ikut."

"Baiklah. Seperti yang kamu minta."

***

"Zara, sebelum ke indekosku, kita harus beli makanan dulu. Di sana tidak ada apa-apa selain kamar buluk milik seorang bujangan."

"Kamu percaya, gak, kalau gini-gini aku juga bisa masak?"

"Aku sih maunya percaya. Tapi kalau terjadi apa-apa setelah aku makan masakanmu, tolong kasih aku napas buatan."

"Enak aja!" Zara mencubit lengan Dima. "Lagian masakanku juga nggak seburuk itu."

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang