Yang Memulai Pencarian

314 58 337
                                    

kejujuran
dan
diri sendiri

tidak ....
tidak boleh
sampai dibohongi
















Hinggap perasaan seperti ini, perasaan di mana nurani sudah memulai pencarian, tetapi tidak tahu apa yang harus ditemukan. Ketika 'ingin' sudah mulai kehilangan tujuannya, dan dengan egois perasaan yang tidak tahu itu memaksa dalam perjalananannya untuk menemukan kelapangan. Lalu pada akhirnya manusia-manusia itu yang akan terkena keabstrakannya.

Pagi-pagi sekali, ketika orang tua bodoh itu masih belum terbangun dari tidurnya, Zara diam-diam pergi meninggalkan rumah. Malam kemarin, padahal memang tidak ia semogakan, hujan-hujan dari matanya itu turun sendiri. Ia tersadari. Dalam catatan kumal itu, syaratnya untuk pergi ke sebuah taman adalah menangis. Tanpa disengaja, syarat itu sudah Zara penuhi dan Zara memiliki segudang pertanyaan kepada sang pemilik buku itu nanti.

Aku tahu, sekuat apa pun kamu, kita adalah manusia

Kamu berhak menangis
Atau jika kamu mau, aku sarankan kamu
Cepat-cepat datang
Duduk dan bersandar di sebelahku
Biar aku pinjamkan pundakku

Kali ini, dalam tulisan kesekiannya, buku itu sedikit berhasil membuat senyum Zara kembali nampak setelah lama hilang disembunyikan waktu melalui orang tua sialan itu. Sebelum benar-benar keluar dari rumahnya, Zara tutup buku itu lalu memasukkannya ke dalam tas.

***

Manusia itu adalah manusia yang tidak pernah bisa tidur dalam malamnya. Sejak ia memilih untuk tinggal di indekos kecil ini, ada satu fasilitas yang tidak pernah Dima pakai dan selalu ia balik menghadap tembok dan tergantung begitu saja di permukaannya. Jarang sekali ia sentuh.

Ini bukan tentang di mana ia tidak percaya  dengan dirinya sendiri. Akan tetapi, setiap manusia memiliki ketakutannya sendiri-sendiri. Hanya saja, ia bukan takut kepada cermin. Ia hanya takut kepada malam sampai-sampai ia tidak bisa tertidur nyenyak dalam rehatnya. Karena setiap kali gelap datang merundungnya, ia sudah tidak lagi sendirian. Begitulah ceritanya.

Tapi kali ini, Dima ingin berbicara dengan teman lamanya. Pada akhirnya, benda paling ia hindari itu ia balik dan mulai menunduk ketika pantulan dari dirinya sendiri mulai terlihat. Cukup lama hening sampai Dima siap untuk mengangkat kepalanya kembali, dan ia mulai tersenyum.

"Ah, kalau kamu sampai membalik benda yang paling kamu hindari seperti ini, apa kamu sedang butuh teman bicara? Kapan terakhir kali kamu mengajakku berbicara? Semenjak kamu bercerita tentang seorang perempuan yang terlihat seperti tidak diberkahi itu?"

Namun, ia mengabaikannya. "Kamu tahu sendiri  kalau aku takut dengan malam, bukan?"

"Persis sekali."

"Jadi tolong untuk malam ini jangan terlalu menyebalkan dan mengejekku."

"Ya, ya, ya ... aku tidak akan banyak berkomentar. Karena kalau bukan oleh kecengenganmu itu, aku tidak akan pernah ada"

"Kalau gitu, berterima kasihlah."

"Sialan emang ...." Dima mengembuskan napas panjang. Entahlah untuk dirinya yang mana. "Jadi, apa yang mau kamu bicarakan denganku?"

"Baiklah, karena kamu adalah aku. Aku tidak perlu menyembunyikan apa-apa darimu. Kamu tahu sendiri bukan kalau aku sudah lama menemukan seorang gadis."

"Lalu?"

"Aku kira, gadis itu sulit sekali didekati. Aku hanya tidak menyangka, ide receh darimu itu akan benar-benar berhasil."

sudah, istirahatlahWhere stories live. Discover now