Mengutuk dan Berdoa

366 58 284
                                    

semesta
pilihan
dan hati manusia
yang rapuh

meminta pengampunan





















Pernah datang seseorang bicara tentang manusia yang tidak akan bisa merasa cukup mengenai apa pun itu jika untuk dirinya sendiri. Katanya juga, manusia tidak boleh serakah. Nanti akan ada sepasang mata yang menangis lagi. Tapi semeta tidak memberi manusia pilihan untuk menjadi seseorang yang egois.

Hukum alam yang tidak pernah bisa ia patahkan adalah ketika siapa pun raga yang terlebih dahulu menangis pada dunia, mereka yang paling berhak. Padahal, sebenarnya tidak seperti itu. Manusia memiliki ruangnya sendiri-sendiri yang tidak boleh sampai dicampuri urusannya. Namun, satu orang paling menyebalkan itu tidak pernah mau mengerti.

"Dari mana saja kamu?" Lihat, di sana ada orang tua yang sedang berkacak pinggang terlihat akan marah.

"Kerja kelompok, Pak," jawabnya.

"Sampai selarut ini?"

"Aku sudah bukan lagi anak SMA. Tugasku juga lebih banyak."

"Apa yang kamu kerjakan sampai selarut ini? Bapak tidak pernah mengajarkan kamu untuk pulang lebih dari jam enam sore."

Zara mengembuskan napasnya panjang.

"Pak, bukannya ini memang kemauan Bapak? Mau aku pulang jam berapa pun, ya, jangan salahin aku. Kalau Bapak mau maksa aku supaya tetap ada di rumah jangan suruh aku kuliah," ujar Zara kesal, "aku juga punya kehidupan sendiri, Pak. Bapak juga. Tapi kenapa Bapak selalu mencampuri urusan aku?"

"Saya Bapak kamu, Zara! Saya berhak mengatur kehidupan kamu. Kamu tidak tahu betapa susahnya hidup di luaran sana. Apa kamu mau hidup luntang-lantung?"

"Bukan, yang aku rasakan bukan seperti itu," ujarnya. Sial, selalu saja seperti ini.

Zara tidak menjawab. Tanpa mau tahu apa-apa lagi, ia lekas pergi dan meninggalkan laki-laki paruh baya itu sendirian di ruang tamu.

"Zara! Zara! Mau ke mana kamu? Bapak belum selesai berbicara, Zara," ujar orang tua itu tinggi.

"Aku mau istirahat."

Ya. Istirahat adalah kata paling aman untuknya menjaga diri dari rasa-rasa bersalah sebagai benih yang nantinya akan menjadi sesal paling terkutuk. Berada di antara jalan-jalan kebimbangan yang patuh atau pembangkang, andai saja jika semesta memberinya pilihan lain, andai saja.

Ia kesal. Kesal sekali. Semesta, kalau kamu memberi manusia pilihan jangan terlalu sulit. Manusia ini punya mimpi. Banyak sekali. Tolong adil. Jangan karena siapa yang lahir duluan bukan berarti ia yang paling tahu. Ia punya nyawa dan logikanya sendiri. Siapa pun mereka tidak berhak atas dirinya. Tidak terkecuali orang tua itu.

Sesampainya di kamar, ada rintik-rintik manis yang jatuh menggurat sebuah bahasa yang kehilangan suara. Jika sudah seperti ini, batas antara benar dan salah pun sudah semakin tak waras. Lelah sebenarnya. Namun Zara masih tetap ingin menunggu. Penantian atas sebuah kepulangan yang benar-benar lapang, sampai ia bisa tidur dengan nyenyak pada malam, walau hujan terus turun dari sepasang matanya diam-diam.

Tempat ini adalah sakit hatinya. Sekeras apa pun ia berusaha, tempat ini adalah tangisannya. Tempat ini adalah peruntuh janjinya. Jika tidak di sini, ia tidak akan menangis. Namun, kenyataannya di sinilah ia bisa hidup dan bertahan. Tempatnya untuk pulang yang sampai saat ini masih belum dirindukan.

"Ah, buku itu ...."

Ia terpikirkan sesuatu. Buku kumal itu tidak berharga. Isinya hanya tulisan-tulisan tidak jelas dan ambigu. Tidak tahu saja. Buku itu hanya memiliki daya tarik jika semesta sedang tidak berada di pihaknya seperti sekarang ini.

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang