Pelarian Pertama

202 39 149
                                    

Now Playing:
Elton John - Your Song

~

semesta sudah indah
sebenarnya

yang menjadikannya
rumit adalah,
ia terlalu banyak
main-main











Malam sudah mau menjelang pagi. Sebentar lagi, fajar akan segera terbilang. Saat ini, Dima dan Zara masih dalam perjalanan menuju sebuah pantai yang masih ada di atas pelataran Tanah Sunda. Dima lihat, Zara sudah terlelap dalam tidurnya. Untuk menemani perjalanannya, Dima menyalakan musik dari ponselnya, lalu ikut bersenandung dengan lagu yang sedang ia dengar. Salah satu lagu favoritnya adalah Your Song dari penyanyi legendaris Elthon John.

Pada pukul 5 pagi, Dima sampai di salah satu pantai di selatan pelataran Tanah Sunda. Karena pada dasarnya pantai ini adalah tempat wisata, jadi Dima harus membangunkan Zara untuk sedikit berjalan melihat matahari terbit. Karena ia memarkir mobil cukup jauh dari pantai.

"Zara, ayo bangun."

"Ng ...."

"Kita sudah sampai di tempat pertama petualangan kita."

"Ini di mana?"

"Kamu akan tahu. Bangunlah."

"Iya."

Masih dalam keadaan setengah sadar, Zara terbangun dan berjalan mengikuti Dima yang berada sedikit di depannya. Semesta masih setengah gelap. Fajar masih belum sepenuhnya terbilang.

"Aww!" ringisnya ketika kepalanya menabrak sebuah punggung di depannya. "Kenapa kamu berhenti diam-diam kayak gini, Dima?"

"Kita sudah sampai."

"Di mana ini?"

"Kamu pejamkan saja matamu merasakan apa yang semesta punya di sini. Nanti kamu boleh membuka mata setelah aku suruh, ya?"

"Iya."

Zara memejam mata sesuai kata Dima. Ia rasa, semilir angin yang tenang dan deburan ombak yang merdu itu benar-benar membuaikan. Ia tahu ini adalah pantai. Tapi ia baru tahu jika di daerah ini ada pantai seperti ini. Dima sengaja memilih tempat yang agak jauh dari orang-orang. Agar ia hanya berdua, menikmati hal semenarik ini.

Perlahan-lahan, cahaya sang fajar sudah mulai terbilang. Ada hangat yang meraba indera perasanya. Nyaman sekali.

"Sekarang, Zara. Kamu boleh membuka matamu."

Untuk pertama kalinya, pagi ini, Zara melihat sesuatu yang begitu asing dari hidupnya. Ia tersenyum, bahkan selama ini, orang sialan itu tidak pernah membawanya ke tempat seindah dan sehangat ini.

Dima rasa dari balik punggungnya ada sesuatu yang basah, tetapi hangat. Satu sisi kaos yang di pakai Dima pun tertarik ke bawah karena tangan Zara yang menggenggamnya.

"Kamu tidak apa-apa, Zara?"

"Aku nggak apa-apa."

"Lalu, kenapa kamu menangis di punggungku?"

"Aku cuma tidak mau kamu melihatku menangis."

"Apa kamu malu?"

"Iya."

Dima tersenyum dan sedikit tertawa. Mendengar itu, membuat Zara sedikit kesal dan mencubit perut Dima.

"Aduh, Zara. Sakit ini perut akunya. Jangan dicubit."

"Suruh siapa ketawa?"

"Nggak ada yang nyuruh aku ketawa, kok."

"Terus kenapa kamu ketawa?"

"Pengin aja."

"Dih, nyebelin banget."

Karena Dima semakin kencang tertawa, Zara memukul laki-laki itu bertubi-tubi. Akan tetapi sebagian pukulan Zara dapat Dima tangkis. Hanya saja, daripada itu, sepertinya gadis itu senang sekali. Dima tersenyum.

"Zara," panggilnya.

"Apa?"

"Aku boleh berkata sesuatu?"

"Apaan?"

"Sepertinya, aku akan berharap pada rencana pelarian ini."

"Ya."

"Tapi aku pikir ini bukan masalah di mana kamu bisa lari, Zara. Kamu hanya ingin istriahat. Pikiranmu hanya ingin istirahat. Andai saja kamu melihat senyum kamu sendiri saat ini, aku yakin kamu akan terkejut. Soalnya kamu cantik sekali," ucap Dima sambil tersenyum.

Yang mampu membuat Zara bergeming adalah karena ... harus Zara akui ... Dima, laki-laki itu memiliki senyum yang sangat manis. Ya, kali ini Dima tersenyum dengan sangat manis. Seperti Dima yang benar-benar Dima.

"Apa kamu bisa percaya kepadaku?" tanya Dima.

"Percaya tentang apa?"

"Sudah, jawab saja."

Zara tersenyum. "Aku akan berusaha percaya."

"Baguslah. Dengan begini, aku bisa merasa sedikit tenang."

***

Semesta sudah semakin terang. Sang fajar sudah beranjak naik menduduki singgasananya. Suasana juga sudah semakin panas. Untuknya yang terbiasa menghabiskan hidup bersama suhu di bawah 25 derajat, rasanya benar-benar sulit.

Zara dan Dima duduk di sebuah kedai tak jauh dari pantai. Karena sepasang manusia itu sudah mulai lapar dan ingin meminum sesuatu yang segar untuk mengatasi tenggorokannya yang sudah mulai kehilangan cairan.

"Ini, Kang, Neng, nasi goreng dan es kelapa mudanya."

"Ah, iya Mang. Terima kasih," ucap Dima.

"Iya, Kang. Sama-sama."

Zara dan Dima makan tanpa ada obrolan. Menurut Zara, sangat memalukan jika ia yang harus memulai setelah kejadian di mana Dima melihatnya menangis tadi. Lalu menurut Dima, sepertinya gadis itu masih memerlukan sedikit waktu untuk tenang. Setelah nasi goreng habis mereka makan, suara Dima berhasil memecah selaput keheningan.

"Zara?"

"Iya?"

"Karena aku sudah bilang akan seberusaha mungkin untuk menemanimu, kalau ada tempat yang mau kamu tuju, bilang saja kepadaku."

"I-iya."

"Aku tidak tahu kenapa. Karena melihatmu begitu senang, di sini ...." Dima menunjuk dadanya sendiri dengan telunjuknya. "Di dalam sini, aku juga ikut merasa hangat dan senang."

"A-apaan, sih, Dima," ucapnya sambil membuang pandang.

"Tidak tahu saja."

"Perasaan kamu aja itu, mah, kali."

"Zara?"

"Apa?"

"Sepertinya, mulai sekarang, aku ingin menjaga senyummu itu."

***

Sebenarnya,
Semesta itu adalah hal paling menarik
Setiap kisah pada jalan ceritanya,
Memiliki caranya sendiri-sendiri untuk mengenang

Pada manusia,
Yang kelihatannya seperti sedang mengutuk ini,
Perlahan mulai tersenyum

Sepertinya,
Sebuah perasaan rumit akan hinggap di hatinya








Aku memang menyembunyikan latar tempat dicerita ini. Tapi masih di Indonesia, kok. Sebagian besar latar cerita ini adalah dekat sama rumahku di real life haha.

See you very soon ✌

sudah, istirahatlahWhere stories live. Discover now