Pencarian dan Pendosa

508 82 384
                                    

manusia
yang mencari
yang kehilangan
dan dosa

dalam doa-doa
yang berkhianat.












Semesta, kita tidak pernah bisa mengerti dengan standar manusia ketika kita dianggap waras dan gila. Kita adalah kesatuan. Pada sifat-sifat yang tidak pernah mereka tahu, seakan seperti dua nyawa di dalam satu raga itu adalah kesalahan. Padahal, tidak ada yang meminta dilahirkan seperti itu.

"Kalau kamu tidak sanggup, biar aku saja."

"Kamu pikir aku siapa?"

"Tentu saja aku."

"Lalu, kenapa kamu meragukanku?"

"Karena kita itu munafik."

"Jadi, kamu tidak memercayaiku sebagai dirimu?"

"Kamu terlalu pengecut."

"Bangsat memang!"

"Haha, akhirnya kamu sadar diri. Dari dulu kita memang sebangsat itu."

"Sial."

"Sekali lagi, apa kamu sanggup? Kalau tidak, biar aku saja."

"Diam dan perhatikan saja."

***

"Dim, lo di mana?" tanya Hardi melalui sambungan telepon.

"Gue masih di indekos. Kenapa emang?"

"Lah. Lo gimana, sih? Gue nungguin lo di tempat kita harusnya ketemuan. Tapi lo malah nggak ada."

"Ya maaf-maaf. Gue sebenarnya ketiduran, tadi," ucap Dima. Padahal, ia sudah tidak bisa seyogyanya tidur. Ia hanya memejam dan kepalanya kosong.

"Sialan emang!" rutuk Hardi, "ya udah. Alamat lo di mana? Biar gue jemput."

"Gue kasih lokasinya entar. Datang aja ke indekos gue."

"Oke siap"

Dima memutus sambungan telepon dari Hardi. Ia benar-benar lupa bahwa malam ini ia ada keperluan dengan laki-laki itu. Tidak berlama-lama, Dima lekas berdiri dari tempat tidurnya dan mandi. Setelah selesai berisap-siap, ia menunggu Hardi di depan indekosnya.

"Lo nunggu lama, tadi?" tanya Dima.

"Gara-gara lo ketiduran, kita ngaret."

"Ya, maaf. Ngantuk mah kan hasrat duniawi. Nggak baik kalau gue tolak."

"Ah, serah lo dah." Hardi mendengkus.

"Jadi, mau ke mana kita?"

"Gue rasa, kita cuma perlu hiburan buat dapat duit."

"Gue suka gaya lo." Dima mengangkat satu sudut bibirnya dan menepuk pundak Hardi.

"Ya udah. Buruan naik."

"Tapi motor lo jadul banget, ya, Di," ejek Dima seraya tertawa.

"Berisik, ah!"

Tapi ujung-ujungnya Dima tetap menaiki motor jadul itu. Bisa dibilang, motor Hardi memang cukup tua. Supra keluaran tahun 2000-an. Tentu saja kalah cepat jika dibandingkan dengan motor-motor gagah zaman sekarang. Hardi bilang, malah sering mogok.

"Di, motor lo lama bener dah perasaan," ujar Dima sedikit berteriak.

"Masih untung lo gak gue bawa jalan kaki, bangsat."

"Ya deh. Maaf. Lagian jarang-jarang gue diboncengin motor butut kayak punya lo."

"Anjing emang."

sudah, istirahatlahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang