Chapter 1 - Nabila

4.2K 137 5
                                    

Ditulis oleh : Rianty

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

NABILA POV

"Hanya tanya ... tentang apa, siapa, mengapa, dan di mana. Pertanyaan yang terus tak bertuan, membuat diri terus terkungkung rasa sungkan . Tanpa menapaki istana yang megah, juga merasa bukan bagian dari dalamnya."

--------

Istana megah, penuh penghuni 'Tholabul Ilmi' yang katanya mencapai ribuan terpampang jelas pada sebuah kalendar di ruang tamu ndalem. Terlihat bangunan pesantren yang berdiri kokoh dalam gambar itu, juga wajah semringah pemilik dan pengasuh beserta keluarga besar.

Senyumku merekah setiap menatap kalendar itu. Ada rasa andai ....

Andai aku pun ada di sana. Berada di sebelah lelaki sepuh bersorban yang tengah mengembang senyum bersama Ummahku.

Tapi semua hanya andai, setiap hari pun ketika menatap kalendar yang berubah tiap tahun selalu sama. Bahkan sore ini, dalam gambar itu hanya Kiai tersebut juga istri dan putra putrinya.

Andaiku berbatas sungkan, bisa saja kutemui lelaki itu yang hanya berjarak kabupaten denganku saat ini. Tapi ....

"La, ngelamun saben hari ngelihatin penanggalan itu. Ayo, ke dapur Bu Nyai cari." Tepukan bahu dari Mbak Wati membuyarkan lamunanku tergambar.

"Hehe. Iya-iya, sebentar," ucapku.

Keranjang bekas mengantar pakaian Abah Yai seusai disetrika mbak ndalem kuletakkan di kamar belakang ruangan ndalem ini.

Segera aku mengikuti langkah kaki Mbak Wati, suasana dapur sangat riuh.  Beberapa mbak khadamah berceloteh ria di selingi tawa.

Banyak jenis makanan yang di siapkan, kata Ning Syafa hari ini kakaknya akan pulang. Makanya Bu Nyai sengaja menyiapkan semua jenis makanan kesukaan sang putra.

🌿🌿🌿

Ba'da Dzuhur tak ada kegiatan aku, Sarah dan Nisa  beristirahat di kamar sambil bersholawat

Seorang santriwati berlari tergopoh-gopoh menghampiri, kami bertiga menatapnya keheranan ia terlihat mengatur napas.

"La, di cariin ternyata sampean di sini toh, itu ada ummahnya datang."

"Oh, iya. Aku ke sana, terima kasih."

  Segera kutemui wanita hebat itu, wanita yang selalu kusebut dalam do'a. Satu-satunya orang tuaku satu-satunya harta terbesarku.

Di sebuah ruangan khusus pertemuan santri dan walinya, di mana mereka bisa bersua barang sejam atau dua jam selama tidak mengganggu kegiatan. Ruangan berukuran 4×5 meter mirip gazebo ini berada tak jauh dari gerbang pesantren.

Sudah ada Ummah di sana, wanita bergamis peach, hijab senada membalut sampai dada, juga cadar yang menutup wajah cantiknya. Tengah duduk di sana berselonjor, aku menghampiri.

"Nabila," sambut beliau menoleh saat aku di sampingnya. Segera kuraih tangan halusnya dan mencium takzim. Lama mengecup telapak punggung, sampai terasa usapan lembut di bahu membuatku menyudahinya.

"Ah, kaya nggak ketemu setahun aja kamu, La. Baru seminggu yang lalu Ummah ke sini."

Aku tergelak, dan mungkin Ummah pun demikian, dapat kulihat dari netra sipitnya yang kian menyipit.

Kuambil duduk selonjoran di sebelah Ummah. Menyandarkan kepala di bahu beliau layaknya anak kecil yang merindu karena lama ditinggal ke pasar. Benar, aku selalu rindu. Rindu wanita yang sudah 20 tahun ini menjadi orang tua tunggal dalam hidupku.

"Tadi Ummah masak banyak, habis pengajian ibu-ibu kompleks, jadi ... Ummah sisain buat anak Ummah yang cantik ini."

Aku menegakkan duduk, lalu sedikit membungkuk menatap paras ayu terbalut kain penutup, ada kecantikan yang tak akan termakan usia di sana.

Aku memandang wajah beliau, putih dan tirus, hidung mancung dengan alis tak begitu tebal, juga bola mata sipit khas tionghoa. Benar, Ummah keturunan asli tionghoa, kakek dan nenek adalah asli orang Tiongkok yang entah sejak kapan menetap di Indonesia. Yang kutahu, mereka adalah mualaf dulunya, dan Ummah mengikuti jejak orang tua untuk memeluk agama islam.

"Ummah bawa makanan kesukaanmu, La. Ada peyek udang, nasi liwet, sama urap-urap keningkir," jelas Ummah sambil menunjuk rantang terususun di hadapan. Aku mengangguk, ada kebahagiaan tersendiri saat Ummah membawakan makanan olahan beliau.

"Pantes, semalem Nabila mimpi menu ini. Ternyata bakal dapat beneran," candaku. Tentu membuat Ummah tertawa, bahunya sedikit berguncang. Senang rasanya melihat beliau tertawa. Kembali kubingkai wajahnya.

Di sana, di wajahnya, adalah cerminan diriku. Aku mewarisi semua dalam diri Ummah, paras, juga katanya sifat yang ramah dan lemah lembut. Bahkan banyak santri-santri yang menyamakan wajahku mirip orang Cina.

Ummah menyuapkan makanan yang dibawanya, masakan yang selalu kurindukan walaupun seminggu sekali beliau akan datang membawakannya untukku, tetapi tetap saja seminggu terasa sewindu bagiku.

Kami bertukar cerita tentang kegiatan masing-masing selama seminggu aku sesekali menangapi disela-sela kunyahan makanan Ummah, beliau bercerita tentang bisnis barunya yaitu sebuah konveksi pakaian gamis yang di beri nama Nabila Store. Nantinya saat aku lulus mondok konveksi itu akan aku tangani nanti.

Tak terasa jam berkunjung telah habis, ummah berpamit pulang, aku memeluknya erat. Lalu mencium takzim punggung tangannya. Ia mengelus kepalaku yang terbalut jilbab.

"Belajar yang benar, ummah pulang dulu ... nanti berkunjung lagi."

Aku menganguk. "Hati-hati, Mah."

Aku menatap pungungnya yang menghilang di balik tembok.

🌿🌿🌿

Suara langkah kaki para santri terdengar riuh, mereka bergegas menuju masjid melakukan sholat magrib berjama'ah aku memperhatikan dari jendela.

Nisa yang baru kembali dari ndalem terlihat terburu-buru bersiap-siap ke masjid. Tumben-tumbenan, biasanya saat suara ngaji terdengar dia masih malas untuk bersiap beda sekali dengan saat ini.

"La, saya duluan ke masjid ya, jenegan nyusul sama Sarah."

Baru saja akan mengajukan pertanyaan, suara ketukan di pintu membuatku menahan kata.

"La, mbak Wati nungguin di bawah."

Aku dan Nisa saling tatap, lalu mengangkat bahu saat gadis bertahi lalat di pipi itu bertanya lewat tatapan mata. Tak biasanya jam segini mbak Wati mencari aku, ada apa ya. Aah ... temuin saja dulu nanti juga tau.

"Ya, nanti aku ke sana, terima kasih mbak."

Segera aku meraih hijab instan berwarna hitam polos dan mukena yang sudah di siapkan.

Koridor penghubung ruang ini memiliki lampu yang redup, ada sebagian lampu yang mati membuat tempat ini sedikit gelap aku mencengkram erat tas yang kupeluk menunduk sesekali mengucap doa, entah kapan Kang Andi akan memperbaiki ini.

Suara derap langkah dari arah berlawanan membuat aku sedikit lega mengetahui bukan hanya aku di sini tapi masih ada santri lain, tapi tunggu ... dari yang terlihat sepertinya bukan santri putri.

Ia mengenakan jaket hitam, tubuh tinggi sosoknya baru kulihat, apa dia pencuri? Mana mungkin atau dia menyukai salah satu santri wati lalu akan menaruh surat cinta. Dari gerak geriknya sangat mencurigakan, aku mengendap saat ada kesempatan kupukul lelaki itu dari belakang.

"Maling, maling ... tolong!"

Dia mengaduh kesakitan, dari tangga Ning Syafa dan Mbak Wati juga Kang Hasan datang mereka terbelalak melihatku memukul pria ini.

"Nabila!"

"Stop ... stop."

"Gus Bilal."

Aku menghentikan gerakan memukul mendengar Kang Hasan menyebutnya 'Gus Bilal' berarti dia ... aarghh.

Malu-maluin aku menunduk, pria itu menatap tajam, Mbak Wati menggeleng melihat tingkah konyol ku.


Bersambung

Lanjut nggak, nih?😅😅

Ning Nabila [SUDAH TERBIT✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang