Chapter 8 - Gus Bilal

1.2K 89 1
                                    

Ditulis Oleh : Ferdi Andreas

~~~

Gus Bilal Pov

Aku tergelak mendengar apa yang baru saja Mas Fahmi—Kakakku—ceritakan, ia baru saja menceritakan pengalamannya selama umroh di tanah suci. Pasalnya kakakku ini bertemu dengan orang luar negeri yang meminta berfoto bersamanya, katanya dia mirip artis di negaranya. Padahal menurutku dia sama sekali tidak mirip artis manapun.

Begitu banyak yang diceritakan Mas Fahmi kepadaku. Ia juga bercerita betapa senangnya dia ketika mengetahui istrinya tengah hamil, mendengar hal itu pun aku takkalah senangnya. Aku menjadi tidak sabar ingin menimang keponakanku kelak.

“Mas denger kamu dijodohkan dengan anaknya Kiai Abdulah, benar begitu, dek?” tanya  Mas Fahmi tiba-tiba, sontak aku terdiam sesaat, aku menoleh sembari mengangguk singkat merespons ucapan Mas Fahmi. 

“Kamu suka nggak sama dia?”

Hanya gelengan samar yang kuberikan. Terlalu malas untuk membahas hal ini, jujur saja. Aku sama sekali tidak ingin menerima perjodohan ini.

“Terus, kenapa kamu terima?” Mas Fahmi terus saja membahasnya. Aku ingin keluar dari topik ini. Namun, apalah daya. Kebiasaan Mas Fahmi, jika belum mengetahui lebih detail mengenai suatu hal, dia tidak akan berhenti menanyainya.

“Aku nggak fokus, makanya langsung ku iyain aja sewaktu mereka membahas hal itu, Mas. Nggak taunya mereka lagi menunggu persetujuanku untuk perjodohan itu,” jelasku sembari menghela napas berat. Bodoh, seharusnya saat itu aku menyimak apa yang mereka bahas. Kalau sudah begini, bagaimana mungkin aku untuk menolak.

Kulihat Mas Fahmi menggeleng sambil berdecak singkat. “Ya salahmu sendiri kalau begitu! Terus kenapa nggak bilang ke abah, kalau kamu nggak terima sama perjodohan ini?”

“Gimana, Mas? Aku nggak mungkin nolak setelah aku menyetujuinya di depan Kiai Abdulah dan istrinya, mau taruh dimana muka abah dan umi? Mereka pasti malu ketika aku mengatakan penolakan.”

“Apa perlu mas bantu ngomong sama abah dan umi, kalau sebenarnya kamu ingin menolak perjodohan ini?”

Sebenarnya aku sudah ingin membicarakan hal itu dengan abah dan umi. Namun, setelah mendengar penjelasan mereka aku menjadi urung untuk membicarakan niat awal untuk menyuarakan penolakan. Umi berkata, aku dan Nadira sudah dijodohkan oleh Abah sedari kecil. Mereka berjanji akan menikahkan kami ketika dewasa.

Selain itu. Kiai Abdulah juga mengatakan kepada abah, dia butuh menantu laki-laki untuk mengambil alih kepengurusan pondok. Aku semakin bingung dibuatnya.

“Ini masalahku, Mas. Aku akan berusaha menyelesaikannya dengan caraku sendiri.”

Mas Fahmi hanya mengangguk singkat. “Nadira cantik, kenapa kamu nggak bisa suka sama dia to?”

“Karena aku sudah menyukai gadis lain, Mas!” Detik berikutnya aku langsung mengalihkan pandangan dari Mas Fahmi, betapa bodohnya mulut ini. Kenapa gamblang sekali mengatakan hal memalukan seperti itu?

Dapat kudengar Mas Fahmi terkikik geli, aku berdecak singkat dibuatnya. “Lupakan apa yang baru saja kutakan, Mas,” ucapku datar.

“Apa dia salah satu santri di sini?” tanya Mas Fahmi penuh selidik. Kedua sudut bibirnya naik ke atas menahan tawa.

“Jangan tanyakan hal itu, Mas. Lupakan apa yang sudah kukatakan,” katakku penuh dengan penekanan.

“Ceritakan tentang dia atau mas bilang ke abah, kamu mau menolak perjodohan itu karena suka sama gadis lain?” Ancam itu begitu mudah diucapkan Mas Fahmi kepadaku, aku hanya bisa mendengkus singkat sembari menghembuskan napas berat.   

Ning Nabila [SUDAH TERBIT✔]Where stories live. Discover now