Chapter 4 - Gus Bilal

1.3K 85 0
                                    

Ditulis oleh : Ferdi Andreas

~~~~~~~~

Gus Bilal POV
.
.
.

Beberapa lembar jawaban soal yang kuberikan pada santri kemarin, baru bisa kukoreksi malam ini. Duduk di sofa, ditemani secangkir kopi yang dibuatkan Syafa, aku memulai. Sepertinya abah sengaja melibatkanku dalam segala kegiatan pondok. Di antaranya mulai mengajar madrasah.

Lembar demi lembar kuamati, sesekali mendaratkan coretan pena pada angka yang jawabannya salah. Hingga sisa lembaran terakhir, milik santri bernama Nabila Zafira.

Anganku tertuju pada kejadian kemarin sore, saat pertama kali mengajar, dan mendapati ada santri yang terlambat. Dan lagi-lagi gadis itu, gadis yang semenjak seminggu di rumah, sering melihat dia berdiri mengamati penanggalan milik Kiai Abdulah, tempatku menyantri dulu.

Setiap tahun, pasti abah selalu langganan dapat penanggalan itu, kadang aku membawa pulang saat liburan pondok.

Selama seminggu mengamati gadis itu, bahkan menanyakan pada Syafa tentang gadis itu. Syafa hanya bilang, "Nabila memang sering liatin kalendar itu, Mas. Gak tahu sih, kenapa? Udah sering ngeliat dia gitu, gak kaget."

Tapi hal itu mengundang pertanyaan bagiku. Kadang juga dia mengusap gambar keluarga Kiai Abdulah, kadang tersenyum sendiri.

Aku menggeleng, mengusir pertanyaan-pertanyaan tentang gadis bernama Nabila itu. Entah lah. Itu urusan dia. Kulanjutkan kembali menyelesaikan pekerjaanku.

Denting notif terdengar dari benda pipih yang tergeletak di meja depanku. Kuraih benda tersebut. Sebuah pesan dari Ning Nadira, putri Kiai Abdulah.

[Assalamualaikum, Gus]

Aku pun membalas salam itu. [Waalaikum salam, Ning. Ada apa?]
Tak lama, centang abu dua itu berubah biru, terlihat penerima pesan itu mengetik.

[Apa kabar, Gus?]

Aku mengernyitkan dahi, tak biasanya Ning Nadira menanyakan kabarku seperti ini. Namun, tak ayal aku pun membalas pesan itu tanpa berpikir panjang.

[Alhamdulillah, kabarku baik, Ning. Sampean sendiri apa kabar?]

[Alhamdulillah baik juga, Gus. Oh ya, Gus, minggu depan, aku, Abi dan Umi ada acara di Malang, insya allah mau berkunjung ke pesantren njenengan]

[Oh, begitu. Alhamdullilah. Salam ya, sama orang tua njenengan, maaf saya belum bisa sowan ke sana]

Aku menekan tombol power pada benda pipih itu, mengakhiri sesi bertukar pesan dengan Ning Nadira, kembali aku menyesap kopi yang sudah hampir mendingin. Kulirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan, waktu sudah menunjukkan pukul setengah sebelas malam. Aku kembali memfokuskan diri pada pekerjaanku yang belum tuntas.

Setengah jam berlalu, lembar jawaban para santri sudah selesai kukoreksi. Semua nilainya juga sudah kurekap di kertas terpisah untuk diserahkan kepada abah. Aku pun menumpuk lembaran-lembaran tersebut menjadi satu dan menyimpannya di dalam laci kamarku.

***
Tak dapat kupungkiri, beberapa hari ini aku cukup lelah dengan berbagai pekerjaan yang diberikan abah kepadaku. Aku jadi sering ketiduran di mushola usai menunaikan ibadah.

Seperti sore itu, aku dibangunkan oleh Mbak Nabila, gadis itu mengatakan abah sedang mencariku untuk membahas kajian yang akan diadakan usai salat magrib nanti.

“Dari mana sampean tahu, kalau saya ada di mushola?” tanyaku pada Mbak Nabila yang berjalan di belakangku.

Lima detik berlalu begitu saja tanpa menjawab pertanyaanku. Aku pun secara refleks menghentikan langkah, dan kurasakan sesuatu membentur punggungku.

Ning Nabila [SUDAH TERBIT✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang