Chapter 2 - Gus Bilal

1.7K 89 3
                                    

Ditulis oleh : Ferdi Andreas

~~~~~~~

Gus Bilal Pov

Darahku sempat mendidih, tapi setelah membaca istigfar dalam hati berkali-kali, akhirnya bisa meredam. Kuhela napas dalam, bisa-bisanya mbak santri itu memukul, meneriaki maling, sedang niatku hanya membenarkan lampu yang rusak.

"Mana tangganya?" pintaku pada kang Hasan yang datang membawa tangga. Laki-laki berkopiah putih itu meletakkan tangga lipat, tepat di bawah lampu yang hendak diganti.

"Monggo, Gus."

Bohlam di tangan Syafa kupinta. Aku pun menaiki tangga dan mengganti lampu koridor asrama. "Bisa hidupkan saklarnya?"

Kang Hasan terlihat melangkah dan mencari saklar. Aku turun dari tangga.

Lampu menyala. Terlihat jelas sudah suasana koridor yang awalnya remang-remang. Ada beberapa mbak santri yang berkumpul, aku mengedarkan pandangan, menangkap sosok yang baru saja menuduhku. Kejadian ini rupanya mengundang santri lain untuk mengerumuni.

Gadis berhijab hitam itu menunduk, tangannya terlihat saling menaut. Mungkin dia menyadari aku tengah mengamati, ia mendongak sekilas. "Maaf, Gus," lirihnya.

"Lain kali, jangan asal tuduh! Mukul sembarangan!"

"Injeh, Gus. Maafkan saya, Gus." Lagi, mbak santri itu hanya mengucap maaf. Aku hanya bisa mengembus napas menanggapi.

Sebenarnya niatku hanya keliling pondok dengan kang Hasan seusai shalat magrib. Lamanya menyantri di luar kota membuatku rindu ingin menengok suasana asrama putra. Namun Syafa yang entah dari mana menyembul, mengatakan jika lampu di asrama putri sudah mati beberapa hari.

"Ayo, Mas. Bantuin benerin! Kalo kang Hasan yang benerin, dijamin gak nyampe. Hehe ... maaf yo, Kang. Aku gak bermaksud meledek," ucap Syafa kala itu saat bertemu di depan asrama putri. Masih dengan gaya cengengesan.

Kebetulan untuk sampai di pondok putra. Dari arah masjid, kami harus melewati pondok putri terlebih dahulu. Aku menolak permintaan Syafa, selain juga niatku berkeliling pondok, rasa capai setelah melakukan perjalanan jauh dari Pasuruan ke Malang membuatku enggan melakukan aktivitas apa pun.

Syafa tetap saja memaksa, bahkan kang Hasan juga ikut-ikutan. Lelaki berpostur tubuh sekitar 160-an itu membenarkan ucapan Syafa.

"Injeh, Gus. Plafon pondok putri tinggi, sepertinya kalau saya yang naik, meski pake tangga tetep aja nggak nyampek."

"Memang santri lain ke mana?" tanyaku.

"Lagi siap-siap mengikuti diniyah, Mas. Udah to, cuma sebentar." Syafa menyela. Tidak ada pilihan lain, aku pun mengiyakan.

Di saat Syafa mengambil lampu di kantor pengurus, juga kang Hasan mengambil tangga. Ada mbak santri itu yang tiba-tiba memukul saat aku tengah merogoh saku mencari ponsel untuk penerangan.

Benar-benar menjengkelkan, baru datang disambut insiden seperti ini. Aku hanya menggeleng, memilih meninggalkan kerumunan santri yang masih mematung.

"Mas!" Syafa memanggil, tapi aku tak menoleh dan meneruskan langkah. Gadis yang masih duduk di bangku MTS itu sedikit berlari mengimbangi langkah lebarku.

"Mas Bilal! Gak denger ya, Syafa manggil?" Bocah itu mendumal.

"Denger!"

Sampai di ndalem, aku langsung duduk di sofa ruang tengah. Ada umi tengah duduk mendaras Alquran, melihat kedatanganku juga Syafa, umi menyudahi ngajinya.

"Dari mana kamu, Le, Nduk?" tanya beliau sembari membenarkan kaca mata. Mushaf di pangkuan ditutup dan diletakkan di meja.

"Itu, Mi. Mas Bilal abis dipukul mbak santri, dikira maling dia." Antusias, bahkan terkesan meledek saat Syafa menjawab pertanyaan umi.

Ning Nabila [SUDAH TERBIT✔]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon