day 9: polaris

3.2K 516 73
                                    

jisung sudah merasa baikan. dia bisa bangun dan tidak lagi merasakan lantai yang dipijaknya bergelombang akibat efek pusing bawaan demam. tapi jelas sang ibu belum membiarkannya pergi bersekolah, yang ada jisung bisa berakhir masuk ke pematang sawah karena harus naik sepeda dengan kondisi badan yang kurang baik.

pagi itu jisung berniat mencari udara segar. jadi dia bangun, mengenakan sandal rumahannya dan menuju ke emperan depan tempat biasa dirinya menyaksikan matahari terbit maupun tenggelam karena viewsnya lebih luas disana. namun jisung malah menemukan punggung lebar minho, bedanya ada punggung lain di sebelahnya. seorang wanita, dengan pakaian kurang bahan yang membuat jisung risih sendiri melihatnya. siapa gerangan wanita itu? jisung berbalik lagi, kali ini menuju dapur.

"buk'e." suara serak jisung menyapa.

"oh, masih pusing ndak? mau buk'e buatkan bubur?"

jisung menggeleng, "yang sama mas minho itu siapa?" tanyanya tanpa basa basi.

"kata nyonya itu pacarnya den minho."

"pacar?"

"iya." bi eka mendekat, mengelus surai lembut sang anak dengan telaten.

"kapan dia datang?"

"kemarin selepas maghrib. kan kamu lagi sakit, jadi kamu ndak tau."

rasanya ada sedikit perasaan tidak rela menghampiri relung hati jisung. sudah mulai terbiasa berdua dengan minho dan kini dia harus melihat pria itu bersama dengan orang lain membuat hatinya seperti diganjal dengan sesuatu.

"jisung jangan macem-macem sama mbak cantik itu ya."

"kenapa buk'e?"

"kita kan cuma numpang disini, jangan buat masalah. jisung boleh suka sama den minho, tapi inget dia sudah ada yang punya."

"lantas, jisung ndak berhak suka sama mas minho?"

"sayang, dengerin buk'e." bi eka mengelus pipi pucat jisung, "kita berhutang budi banyak sama keluarganya den minho. kalau sampai ada apa-apa dan itu karena kita, berarti kita sudah menyia-nyiakan kebaikan keluarga ini. berdosalah kita nak, paham kan maksud buk'e? "

jisung menunduk, pandangannya menatap kosong kearah bawah.

"nggih buk'e."

"pinter anaknya buk'e. sekarang mending jisung mandi. bauk acem."

meski sang ibu mencoba bercanda, namun sepertinya jisung sedang dalam mode mendungnya. dia nampak tidak tertawa sama sekali, padahal biasanya jisung pasti tertawa saat diejek bau asam oleh sang ibu.

setelah selesai mandi, jisung memilih untuk membantu ibunya membuat manisan di dapur. dia memang sengaja tidak mendatangi minho, lagipula buat apa? selain sudah ada kekasihnya, jisung juga masih agak takut melihat wajah minho karena selalu mengingatkannya akan kejadian malam itu. tiba-tiba saja bulu kuduk jisung merinding. dia seperti bisa merasakan kembali ciuman panas minho di bibirnya, juga sentuhan tangan minho di tubuhnya. dan nadanya yang dingin membuatnyaㅡ





"jisungㅡ" suara berat itu membuyarkan lamunan semunya. kepala si manis mendongak untuk mendapati tangan minho yang tengah menahan lengannya. oh, jisung rupanya hampir mengiris jemarinya sendiri alih-alih mengiris buah pear yang ada di tatakan. ini semua gara-gara minho.

"loh, ada apa ya?" bi eka yang baru datang dari pintu belakang sambil membawa keranjang berisi timun menatap heran kearah minho dan jisung.

"awalnya saya mau ambil minum, terus saya lihat dia lagi ngelamun sampai hampir ngiris tangannya sendiri."

"astaga cah iki, yo wis rono wae. ndak usah bantu buk'e, daripada tangan kecilmu luka."

(astaga anak ini, yaudah sana.)

jisung pasrah saja saat tangannya ditarik minho menuju ruang tamu. barulah saat sudah jauh, jisung menarik tangannya sendiri.

"ndak usah seret-seret saya, saya bukan barang."

"kamu kenapa?" tanya minho pelan.

"mas minho yang kenapa?"

"loh, kok kamu balik nanya? tadi jarimu itu hampir kepotong karena ulahmu sendiri. ya wajar saya ngelakuin itu."

"kenapa ndak mas biarkan saja?"

"apa?"

jisung menghela napas, matanya melirik seorang wanita super cantik yang masuk dari pintu depan. wajahnya angkuh sekali, menatap jisung dari atas kebawah seolah sedang menghakimi.

"dia siapa?" gantian yuna yang membuka suara.

"jisung." ucap minho mewakili.

"pembantu?" tanya yuna lagi.

tak ada yang menjawab, tapi sang wanita mengangguk-angguk, "lo babu kan? jadi nggak usah deket-deket pacar gue." selanya lagi dengan logat jakarta yang begitu kental.

tanpa kata jisung berbalik menjauh, mengabaikan minho yang melihatnya seakan menyuruh untuk tetap tinggal.

"harusnya kamu nggak boleh gitu, yuna. dia masih sma."

"siapa perduli?" yuna mengedikkan bahu, "babu ya tetap babu." lanjutnya.

wanita itu duduk santai di ruang tamu sambil memainkan ponsel. sementara minho sendiri berada diambang kegamangan, haruskah dia tetap disitu atau pergi menyusul jisung?

 sementara minho sendiri berada diambang kegamangan, haruskah dia tetap disitu atau pergi menyusul jisung?

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.
candala | minsung ✔Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum