23. Twins

3.4K 252 158
                                    

Jangan lupa vote sama komen ya

Koreksi typo ny juga

Selamat membaca
.
.
.

👇👇👇
.

.

Zidan tak pernah berpikir kalau takdir yang digariskan pada seseorang yang terbaring di ranjang—dengan kedua mata masih menutup—begitu kejam. Awalnya Zidan hanya ingin menyudahi sumpah Adelia, ibunya, yang diturunkan oleh Aileen. Namun seiring berjalannya waktu dan seiring dengan apa yang terjadi pada Aqueena, Zidan malah berharap Aqueena bukanlah orang yang ditunjuk takdir untuk menyudahi sumpah kejam itu. Nyatanya, gadis itu punya takdir sangat yang rumit, seakan semesta menjadikannya orang yang harus menanggung dosa semua penghuni dunia.

Zidan memang belum pernah bertemu Adelia sejak kecil karena dia dititipkan dan dibesarkan oleh Mr. Sanders dan Ms. Evana dengan tujuan untuk menghindari takdir buruk. Namun Zidan yakin, wajah Adelia persis seperti Aqueena. Bukan hanya itu, Mr. Sanders bercerita bahwa sifat dan sikap yang ditimbulkan Aqueena persis seperti Adelia—pendiam yang nyatanya menyimpan seribu kecerewetan, keras kepala, setia, dan orang yang berhati iba.

Zidan sempat berpikir, seandainya dulu Adelia tak pernah menyelamatkan Raxa, apa mungkin pria itu akan menjadi seperti sekarang? Apa mungkin Raxa akan menyimpan dendam terhadap dunia ini? Dan apa mungkin Raxa akan mencintainya hingga menginginkan kehancuran karena cintanya ditolak? Namun tak ada yang tahu permainan takdir, semuanya tampak sederhana, nyatanya takdir itu suka bercanda.

Takdir pertama yang harus diterima Aqueena adalah menyerahkan nyawanya demi kedamaian. Takdir berikutnya mungkin sama, atau mungkin juga lebih baik dan bahkan lebih buruk. Tapi Zidan berharap, apapun yang terjadi kedepannya, Aqueena bisa bahagia. Zidan juga berharap setelah Aqueena mewujudkan sumpahnya, Aileen bisa beristirahat dengan tenang dan tak lagi bereinkarnasi.

"Biarkan aku bertemu cucuku terlebih dahulu! Kau tak berhak melarangku!"

Zidan tersentak tatkala mendengar suara bising dari luar ruangan. Zidan tahu suara itu adalah milik Minora, karena tak ada yang punya suara bising yang menyebalkan selain suara Minora.

"Saya tak melarang Anda, Nyonya, tapi sebelum itu kita harus bicara!"

Zidan berdiri dari duduknya yang semula berada di sofa, kemudian membuka pintu dan menutupnya kembali. Dua pasang mata yang sedang beradu mulut kompak terdiam ketika Zidan memunculkan diri.

"Zidan!" Minora berucap, cukup terkejut karena Zidan keluar dengan wajah penuh emosi. "Dimana Aqueena? Aku ingin melihatnya!"

"Anda tahu kalau ini ruang perawatan, bukan?! Lantas kenapa Anda berisik di sini?! Jika Anda ingin bertemu Aqueena, sebaiknya Anda datang tanpa mengganggu ketenangan. Perlu Anda tahu kalau cucu Anda butuh istirahat yang cukup setelah apa yang baru saja bangkit dari tubuhnya." Zidan menjelaskan, sempat emosi namun kembali mereda lantaran di depan ruangan perawatan tak boleh menimbulkan kebisingan.

"Apa maksudmu?" Nyonya Minora berucap ragu. "Apa maksudmu yang bangkit dari tubuhnya?"

"Untuk itu sebaiknya kita bicarakan di ruangan saya saja, Nyonya. Karena itu saya bilang kita harus berbicara terlebih dahulu." Mr. Sanders menjawab, berusaha membuat situasi kembali membaik. Kemudian dia menuntun Nyonya Minora menuju ruangannya yang diikuti Zidan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di ruangan kerja Mr. Sanders. Di ruangan itu Ms. Evana menunggu sembari menuangkan teh yang berada di dalam teko ke dalam gelas kaca.

"Cepat katakan apa yang ingin kalian sampaikan. Aku tak punya banyak waktu. Aku harus membawa cucuku pulang." Nyonya Minora berkata sarkas, yang membuat Ms. Evana memutar bola mata.

The Magic Stone: Red PearlWhere stories live. Discover now