7

110 27 4
                                    

BARA ditugaskan mengambil buku paket Olahraga di ruang guru, tepatnya di meja milik Pak Ahmad. Guru itu sedang mengawasi Team Basket SMA Dirgara dan cheerleaders yang sedang berlatihan di lapangan. Karena seminggu lagi, lomba antar sekolah akan menyambut mereka. Setelah menemukan buku yang dimaksud, Bara keluar dan menemukan Selsa yang baru saja ingin masuk ke dalam.

"Habis ngapain, Bar?" tanya seorang gadis yang baru saja hendak memasuki kantor guru.

Bara menjawab. "Ini, gue habis ambil buku panduan, dimeja nya Pak Ahmad."

Gadis itu mengangguk. "Oh, gitu, gue kirain ada urusan sama pembina Osis. Eh iya, untuk rapat besok, jadi?"

"Jadi, Sel. Masalah absen, lo yang urus, ya."

Saat sedang berbicara dengan Selsa, Bara melihat Fannie yang baru saja keluar dari kelasnya dengan tergesa-gesa. Sudah Bara duga, ini pasti terjadi. Padahal Bara sudah memberi ultimatum pada Fannie, agar tidak memaksa keluar kelas saat masih pelajaran. Jadi, Fannie harus dihukum, sesuai dengan perjanjiannya.

-5 menit sebelumnya-

"Bu, saya beneran harus pergi ke lapangan, bu. Nggak lama!"

"Fan, lo jangan nekat."

"Gue nggak peduli, Din. Gue harus ketemu Elang, sekarang."

Dinda menyela. "Nggak sekarang, Fan. Lo tahu, kita baru disini. Jangan langsung bikin ulah, lo sendiri yang bilang."

"Udah gue bilang, gue enggak peduli."

Bu Laila jelas marah dengan Fannie yang sudah berani membantah omongan guru. Sama sekali tidak sopan. Padahal, Fannie juga tidak berani melakukan hal sebodoh ini kepada gurunya. Fannie anak yang sopan, sangat sopan. Entah apa yang telah Elang perbuat padanya, sampai Fannie selalu merasa kehilangan arah.

×××

Bara meninggalkan Selsa begitu saja. Ia mengejar Fannie yang sudah lari ke arah lapangan. Memang tidak seharusnya Bara membantu Fannie secepat ini. Namun nahas, Fannie sudah hilang di dalam kerumunan siswa-siswi yang sedang menonton pertangdingan itu di lapangan.

Kedua mata Fannie menyapu seisi lapangan. Mencari-cari dimana pengguna jersey basket yang tertera nama Elang dibelakangnya. Satu persatu pemain ia perhatikan. Mana yang sekiranya mirip, atau yang memakai gelang berwarna merah di tangan sebelah kanan nya.

Namun nihil, ia tidak menemukan ciri dan nama yang sama. Apa ini? Apa Bara berbohong lagi padanya?

Fannie terpaku ditempatnya. Merasa sangat kecewa, dikhianati oleh Bara. Seharusnya Bara tahu, kalau Fannie tidak pernah bercanda soal ini. Bara juga tahu, kalau momen ini lah yang sangat dinanti olehnya. Apa segitu teganya, Bara mempermainkan perasaan Fannie?

Tubuh Fannie tertarik ke belakang, Bara menarik tangannya untuk keluar dari kerumunan. Mereka menjauhi keramaian, dan pergi ke belakang sekolah. Tempat paling sepi disaat-saat seperti ini. Kecuali, saat jam istirahat atau pulang sekolah.

"Lepasin." sentak Fannie.

Bara menyela. "Lo kenapa nekat? Gue kan udah bilang, kalau lo nggak bisa, nggak usah maksa. Lo harus gue hukum."

"Lo jahat, Bara. Lo mainin perjuangan gue."

Bara melihat kearah mata Fannie yang sudah memerah. Ada tatapan kecewa di balik sorot matanya. Bara tak berniat melakukan ini, namun, Bara juga tidak expect kalau Elang tidak hadir di lapangan. Padahal, Elang harusnya mengikuti latihan wajib hari ini.

"Gue nggak mainin perjuangan lo. Gue juga nggak tahu, dimana dia."

"Terus kenapa lo suruh gue ke lapangan kalau nggak ada dia?"

"Gue udah bilang, gue nggak tahu. Udah, sekarang lo bersihin halaman belakang sampai bersih. Jangan pulang kalau masih ada satu daun pun yang berserakan."

Bara pergi meninggalkan Fannie begitu saja. Tanpa menjelaskan apapun lagi. Sungguh, Fannie masih butuh penjelasan darinya. Tapi kenapa ia malah lari?

"Gue belum selesai ngomong. Lo harus bantu gue, Bara, bantu gue buat ketemu Elang." cegah Fannie.

"Maaf, Fan, nggak bisa. Mulai saat ini, lo jauhin gue aja. Gue cuma ditugasin buat bukain pintu perjuangan buat lo. Sorry, bantuan gue buat lo, cuma bisa sampai disini."

🎶

Taxi yang kami tumpangi tiba-tiba terhenti ditengah jalan, alias mogok. Fannie dan Dinda hanya bisa menunggu sampai sopir taxi itu selesai membenarkan mesin mobilnya. Mang Anwar tidak bisa mengantar, karena anaknya yang sakit keras, membutuhkan sosok ayah disebelahnya. Tentu Fannie turut sedih, dan mempersilahkan Mang Anwar untuk bolak-balik menggunakan mobilnya.

Sore ini sangat gelap, pertanda mau hujan deras. Mesin taxi tak kunjung menyala. Kata pak sopir, ia hanya membutuhkan sebuah obeng untuk mengait baut yang lepas. Namun, Ia tak membawa. Ingin menghubungi temannya, namun baterai ponselnya juga habis.

"Gimana nih, Fan. Gue udah laper banget."

Dinda merengek sedari tadi. Ia memang sudah lapar, inilah tujuan kita keluar rumah, membeli bahan-bahan dapur untuk dimasak malam nanti.

"Lagian bisa banget, mogok di tempat sepi kaya gini. Gue kan jadi ngeri." tambahnya.

"Udah tunggu aja. Lo kan tahu sendiri. Jalan raya macet, untung bapaknya tahu kalau ada jalan pintas."

Ya, hampir tidak ada kendaraan yang berlalu-lalang. Hanya satu, dua, kemudian tak ada lagi hingga beberapa menit kemudian.

"Itu kak, ada motor. Saya mau minta bantuan dulu." Bapak itu menunjuk pengguna motor yang baru saja mau lewat.

Motor itu berhenti tepat didepan kami. Seperti orang yang sedang buru-buru. Pengguna motor itu membuka jok motornya dan mengambil sebuah peralatan mesin disana.

Fannie dan Dinda hanya bisa memperhatikan dengan malas, tanpa rasa semangat karena sudah merasa sangat lapar.

Pengguna motor itu membuka kaca helm fullface miliknya sehingga kedua matanya bisa kami lihat dengan jelas.

"Ini pak, ambil aja. Nggak perlu dibalikin, saya lagi buru-buru." sembari memberikan kantong berisi alat tersebut.

Bapak sopir taxi itu berterima kasih, dan mengajak pengguna motor itu bersalaman. Sang pengendara mengulurkan tangan kanan-nya, dan..
Gelang itu?

×××

Sudah 1.5 kilometer lebih Fannie berlari mengejar motor tadi. Saat ada perempatan, Fannie hanya mengikuti instingnya sendiri. Fannie yakin Elang pergi kearah itu. Fannie tahu itu Elang, karena tidak ada yang memiliki gelang itu selain dia. Gelang itu buatan Fannie sendiri, tak mungkin Fannie tak mengenalnya.

Ia sudah berlari sejauh ini. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya. Ia mengejar motor itu tanpa menggunakan akal yang sehat. Fannie merutuki dirinya sendiri, ia sudah seperti orang gila yang berteriak memanggil nama Elang di sepanjang jalan. Fannie yakin bahwa itu memanglah Elang. Tapi kenapa Fannie harus berlari sampai sejauh ini? Segila inikah? Kerinduan yang ia punya? Bahkan sekarang, ia tidak tahu, dimana arah jalan pulang.

×××

"Bara, bantu gue, Fannie hilang!"

Hai guys, thankyou buat yang udah baca sampe sini ya, hehe:') Boleh kan? Minta kalian buat vote cerita ini? Hehe sekali lagi, makasih yaa

ELANGDonde viven las historias. Descúbrelo ahora