8

61 20 2
                                    

"Kalau lo masih mau ngelakuin hal nekat kayak kemaren, gue nggak akan mau nemenin lo lagi disini. Gue mending balik ke London, daripada niatan mau bantuin lo, tapi lo sendiri aja nggak pernah dengerin apa kata gue."

🎶

Pagi ini, Fannie berniat untuk mengajak Dinda pergi ke tempat, dimana Fannie biasa mendatanginya dengan Elang.

Yakni di rumah pohon seberang danau, yang jaraknya lumayan jauh dari kompleknya. Saat sudah sampai disana, keadaan rumah pohon itu masih sama. Masih dikelilingi oleh bunga-bunga yang indah nan terawat. Bedanya, kondisi rumah itu sudah sedikit lusuh. Hanya saja kayu penyangga pohon itu masih terlihat kuat.

Mereka berdua menaiki satu persatu anak tangga, dan sampailah di tempat tujuan.

Fannie duduk dengan mengarahkan pandangannya ke arah danau. Ia bisa merasakan hawa sejuk dan tenang di rumah pohon ini. Masih sama dengan hawa 6 tahun yang lalu.

"Tempat ini, berkesan banget buat lo ya, Fan?"

"Kalau ada yang lebih dari kata berkesan, maka itu jawabannya."

Dinda mengangguk-angguk kepalanya pelan,
"Pemandangannya cantik banget. Pantas aja, kalian suka pergi kesini."

Fannie menjawab pelan. "Ya. Dia memang selalu tahu apa yang gue suka, dan nggak pernah sekalipun salah."

Bibirnya tersenyum tipis, sembari mengasihani dirinya sendiri. Lagi-lagi memori itu berlarian didepan matanya. Sudah hukum alam, semua hal yang dirindukan, pasti selalu muncul di angan-angan.

"Jadi,
Apa arti rumah pohon ini bagi kalian berdua?"

Fannie menerawang. "Rumah ini terlalu berharga untuk dijelaskan pakai kata-kata. Dulu dia pernah bilang, kalau lagi nggak ada gue, rumah pohon ini yang akan dia datangi pertama kali saat dia lagi sedih ataupun kesepian. Dia juga bilang kalau nggak ada tempat paling nyaman selain rumah pohon, rumah nenek, dan rumah Andira. Itulah kenapa.. kalau gue kesini, gue selalu merasa kalau dia ada disebelah gue."

Penjelasan spontan ini membuat Dinda masih sedikit bingung, karena Ia belum mempersiapkan diri untuk mendengarkan curhatan mendadak yang dilontarkan oleh Fannie.

"Andira itu Siapa? Lo nggak pernah cerita." tanya Dinda.

"Andira, ya?
Hmm... Andira itu... perempuan pertama yang bisa melindungi dia setelah nenek dari ayahnya. Bagi dia, Andira itu matahari yang menerangi hidupnya. Tetapi, setelah Andira udah nggak ada, dia sedih, dia merasa kalau cahaya itu sudah redup dan nggak lagi menerangi hidupnya. Walaupun Andira nggak pernah tahu, Andira tetap bisa ngerasain itu.."

Semilir angin menerpa wajahnya dengan lembut. Fannie merasa sangat tenang. Ia mencurahkan semua ini, tulus dari dalam hatinya.

"Sorry Fan, gue belum sepenuhnya ngerti. Jadi yang jelas, Andira itu siapa?"

Fannie menoleh. "Cahaya itu, gue.
Gue, adalah Andira. Cahaya sekaligus sayap pelindung untuk dia."

Dinda sedikit terkejut saat mendengarnya. Setelah 6 tahun berteman dengan Fannie, ia baru mengetahui hal ini. Jadi ternyata, inisial A ditengah nama Fannie Hadley itu... Andira?

ELANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang