16. Pernikahan

164 15 35
                                    

Terima kasih untuk segala kisah yang t'lah kau buat
Kedatanganmu membuat hidupku kembali merasakan warna yang sempat hilang
Aku harap kamu selalu mengingatku ditiap detiknya
Seperti aku yang selalu mengingatmu




Salah. Perkiraan Mahendra benar-benar salah. Ia kembali melirik apa yang ada di tangan kanannya. Sebuah cincin dengan berlian berbentuk hati di atasnya. Ia berniat melamar Ara di depan Papahnya malam ini. Tapi setelah apa yang Mahendra lihat, ia membuang jauh jauh bayangan seperti itu. Karena itu hanyalah sebuah mimpi yang tak pernah nyata.

"Maaf, aku terlalu berharap untuk hal yang gak akan pernah terjadi" lirihnya sambil meninggalkan tempat itu. Tak sadar lelehan cairan jatuh dari matanya.

****

Mata Farel teralihkan. Ia melihat ada seseorang yang mengikutinya.

"Ra, sebentar ya aku ke toilet dulu" ucap Farel sambil melirik pada pria yang berusaha mengikutinya itu.

Farel berlari begitu kencang sehingga tanpa menunggu lama ia dapat mencekal pergelangan tangan pria itu. Pria itu menoleh dan betapa terkejutnya Farel saat melihatnya.

"Mahendra?" alisnya bertaut seraya melepaskan cengkraman tangannya.

"Kenapa... Kenapa kamu ngikutin kami?" tanya Farel

"Saya harus pergi" Mahendra bergegas pergi namun lengannya ditahan oleh Farel.

"Itu apa?" Mahendra melirik apa yang ada pada genggamannya dan dengan cepat memasukkannya ke dalam saku celana. "Apa ini maksudnya, Ndra?!"

Mahendra menghela napasnya lalu menghembuskan dengan pelan. "Yaa, saya mau melamar seseorang yang berstatus sahabat saya. Tapi saya rasa saya terlalu percaya diri untuk itu" ucap Mahendra tertunduk. Farel memegang bahu Mahendra agar dapat menatapnya leluasa.

"Kamu bisa jelasin ini semua nanti sama saya, saya selesain acara saya sama Ara dulu" Farel meninggalkan Mahendra yang sangat rapuh.

Mahendra hanya tersenyum smirk mengingat dirinya yang begitu memalukan. Lalu kembali melangkahkan kaki jenjangnya tak tentu arah. Hingga ia tiba di sebuah jembatan. Cukup sepi karena memang hari sudah semakin larut.

"Tuhan..." Mahendra meraih pegangan jembatan untuk menahan dirinya yang mulai lemas. Menahan tubuhnya dengan kedua tangannya di pegangan jembatan.

"Apa ini akhir dari semuanya... Apa Embun emang gak akan pernah bisa jadi milikku? Tapi kenapa ya Tuhan. Kenapa?!" Mahendra mengusap wajahnya kasar.

"EMBUUUUUUNNNN...." Mahendra berteriak, melampiaskan rasa sesaknya di dada. Lucu sekali rasanya, mencintai seseorang bahkan orang yang gak akan pernah mencintai dirinya. Harusnya ia menyadarinya dari awal bahwa posisi Farel dari dulu tidak akan pernah bisa tergantikan.

"Ternyata benar kata orang, cinta sepihak hanya akan membuat kita merasakan sakit. Tidak ada rasa lain, ya, hanya rasa sakit"

Mahendra menoleh ke belakang ketika bahunya merasa ada yang menyentuh. Farel. Lelaki itu, kenapa ia harus muncul ketika hatinya sedang kacau dan rapuh.

"Mau apa lagi?" tanya Mahendra pada Farel yang sudah berada di sampingnya.

"Ada apa dengan kamu, Ndra? Kenapa kamu bisa ada rasa sama sahabat kamu sendiri"

"Ini bukan kemauan saya, tapi hati saya"

"Maaf Ndra, disaat seperti ini, jujur saya juga bingung mau nolong kamu seperti apa. Saya sendiri gak bisa jauh dari Ara. Dia satu satunya orang yang saya cinta"

If You Love Me✔Onde as histórias ganham vida. Descobre agora